2

314 27 7
                                    

.









.









.

Satu minggu semejak pengakuan mengejutkan orang tua nya yang ingin menikahkan nya setelah lulus SMP. Harapan hidup Jeongin putus juga di hari itu. Tidak ada semangat hidup. Ia merasa lesu tak bergairah.








Jeongin sadar dia bukan seorang yang gemar belajar dan maniak sekolah. Tapi di umur nya yang sebelia ini, sekolah merupakan salah satu keinginan yang di senangi.









Bersaing prestasi meski nilai nya tak terlalu tinggi. Bersosialisasi dengan kawan sebaya. Walau ia sadar sering dijauhi lingkungan pergaulan. Tetapi sungguh itu tak masalah bagi nya. Ia masih ingin merasakan masa masa sekolah yang memuakkan itu.








Setidak nya walau di rumah ia tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan kedua saudara nya. Ia masih bisa merasakan hal yang sama di rasakan oleh remaja seumuran nya.







Namun keputusan yang dibuat sepihak kedua orang tua nya benar-benar menyakiti hati nya. Jeongin merasa kecewa. Marah, marah sekali. Umur nya masih belia. Tapi mereka memaksa nya menikah. Terlebih lagi dengan seseorang yang tidak ia kenal dengan umur yang cukup jauh di atas nya.








Mungkin mereka menganggap itu sebuah keputusan yang terbaik untuk diri nya. Tapi yang Jeongin lihat  sebalik nya. Perbuatan mereka itu seakan menyatakan dengan gamblang bahwa mereka membuang diri nya. Tidak membutuhkan diri nya lagi.










Sebegitu tidak menginginkan kah orang tua nya terhadap dia. Hingga mereka berdua memaksa nya menikah. Di saat seharusnya ia masih mengenyam pendidikan ini.










Semenyusahkan itu kah diri nya? Hingga mereka tidak ingin menampung nya lagi. Melempar kan tanggung jawab nya kepada orang lain.









Jeongin meringkuk di sudut kamar nya. Menangisi keadaan menyedihkan yang ia alami ini. Kenapa hidup nya tidak adil?









Suara langkah kaki yang berhenti di depan nya, membuat nya terpaksa menahan isakan yang sejak tadi ia alunkan.








Tak lama setelah nya ia merasa kan dagu nya di tarik, di paksa menghadap ke depan. Bisa ia lihat wajah  tak bersahabat kakak nya tersungging di depan nya.










"Jadi lah berguna sedikit, Jeo. Jangan berbuat bodoh seperti ini. Bukan kah ibu sudah memberitahu mu setengah jam lagi kamu harus bersiap siap untuk pergi ke tempat pertunangan mu? Kenapa masih berantakan seperti ini?! Kekanakan sekali." omel sang kakak.











"Aku tidak mau menikah, kak. Aku tidak bisa." lirih Jeongin dengan mata yang masih memerah.









"Apa yang tidak bisa dilakukan?! Menikah itu mudah, tidak sulit. Saat upacara pernikahan kamu hanya perlu menuruti arahan. Mudah kan. " kata nya santai sekali.

















"Kalau mudah kenapa tidak kakak saja yang menikah?" Tanya balik Jeongin.









"Tidak. Aku tidak mau menikah sekarang. Lagipula kenapa kamu menolak nya sih?! Keluarga suami kamu itu kaya raya, kamu bisa minta apapun kepada nya. Termasuk mobil mewah. Hidup mu akan enak dan tidak perlu bersusah payah mencari uang." ucap kakak Jeongin tidak berperasaan.






"Iya itu makanya kakak saja yang menikah sama anak nya temen bisnis Papa. Kakak bisa minta dibelikan mobil kan. Bukankah kakak pengen punya mobil sendiri?"






"Sudahlah, jangan banyak alasan. Cepat bersiap siap sana. Jangan membuat kami menunggu lama. Menyusahkan saja." perintah kakak nya kemudian menutup kasar pintu kamar nya.





TBC

Part 2

Part 2

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Titipan Tuhan (JeongSung) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang