Prolog

191 37 0
                                    

Cahaya nggak selalu berasal dari senter. Lagipula senter bisa rusak dan butuh charger.

"Kenapa senter selalu jadi pilihan utama buat Prosa? Peran gue jelas bisa lebih baik dari senter. Gue nggak cuma bisa jadi sepasang mata tambahan buat ngebantu dia keluar dari kegelapan, tapi juga bisa menyinari hari-harinya dan ngebuat senyum paling bahagia di wajahnya," Alga terdiam selama beberapa detik.

"Kenapa?"

"Karena senyum Prosa nggak pernah tulus selama ini," Alga menjawab dengan lancar seakan dia tau banyak tentang baik dan buruknya kehidupan Prosa.

"Bukan itu, Al. Kenapa gue nggak bisa jadi Prosa yang lo mau? Gue cinta sama lo! Bakalan lebih mudah buat kita ngejalin hubungan daripada lo ngejar-ngejar Prosa yang mungkin sekarang udah lebih kecanduan sama narkoba itu!!"

"DANIA!!"

Dania menutup mulutnya rapat-rapat. Sisa emosinya berubah menjadi kobaran api yang membuat seluruh tubuhnya memanas begitu kalimat yang tak pernah ingin ia dengar keluar dari mulut seseorang yang begitu ia cintai.

"Makasih udah ngebuat gue sadar, kalo sifat lo masih kayak anak kecil yang nggak pernah berhenti minta es krim, walaupun lo tau kalau itu bakalan ngebuat lo sakit. Lo harus inget, kita cuma sebatas teman, dan lo nggak bisa nganggep hubungan kita lebih dari itu secara sepihak!"

*

"Maaf, tapi kita harus selesai sampai di sini, gua nggak bisa tetep berteman sama orang yang nggak lebih baik dari stalker."

*

"Lo harusnya bersyukur, karena gue nggak ngelaporin lo ke polisi!"

"Buat apa? Gue udah nggak takut buat masuk penjara lagi."

*

"Gue mohon, Prosa. Stop ngerusak tubuh lo sendiri."

Prosa tersenyum kecut, melihat Alga yang tampak tak berdaya terduduk di atas lantai.

"Lo nggak punya hak buat ngelarang gue."

"Prosa, please," Alga saat ini tampak semakin berantakan dengan wajah menangisnya.

"Bisa berhenti pura-pura suka sama gue sekarang, dan jelasin soal misi sialan lo itu!?" Prosa mengarahkan pistol yang semula tersembunyi di saku celananya.

"Lo masih suka ngebunuh siapapun yang jahat sama lo?"

Prosa tak menjawab pertanyaan Alga, dia hanya fokus mengarahkan pistolnya agar pelurunya masuk tepat sasaran.

"Apa kejahatan gue itu cinta sama lo? Apa cinta juga termasuk ke dalam tindak kejahatan?"

"Lo mau tau kejahatan lo apa?" Perlahan tapi pasti, Prosa menarik pelatuknya.

"GUE TAU SEMUANYA! GUE TAU SELAMA INI LO NIPU GUE, BRENGSEK!!"

Dor!

Prosa menjatuhkan pistolnya. Hening seketika. Hanya ada suara langkah kaki Prosa yang berbalik dengan pandangan kosong, karena tak tahan dengan bau amis darah yang memicu traumanya tujuh tahun yang lalu.

Pertanyaan muncul di benaknya seiring dengan langkah kakinya yang tak terbalut apapun menyusuri ibukota.

Bisakah kehidupannya berjalan dengan normal seperti dulu?

Prosa tak mempedulikan orang-orang yang terus memperhatikan penampilan berantakannya. Kaus yang terkena cipratan darah akibat menembak terlalu dekat, dan darah dari luka tusukan pisau yang mengalir dari balik celana panjangnya.

Bisakah ia menjalani kehidupannya yang damai seperti dulu?

Bisakah...

...dia menangani masalah semacam ini lagi sendirian?

Friend With DisasterWhere stories live. Discover now