Panorama Ajaib

17 6 0
                                    

Sudah empat puluh delapan bulan pengungsian itu menampung para penyintas sejak pertama kali aku tiba. Belum ada kabar jelas tentang bagaimana nasib kami ke depannya. Terkadang aku menghampiri Callihan untuk bicara, tetapi dia selalu sibuk. Menolak dengan halus.

Anak-anak akan dikategorikan ulang setiap bulan sekali. Pada bulan ke empat puluh delapan ini, aku harus pindah ke tenda tempat para pemuda lainnya. Edith akan berada di tenda khusus perempuan. Aku tak ingin berpisah dengan Edith. Kubilang, dia masih kecil dan butuh diasuh. Ketua pengarah berkata agar aku tak perlu khawatir, ada perawat dan beberapa wanita dewasa yang bisa mengurusnya.

Aku tak bisa menolak walaupun keberatan. Dan karena itu, aku menjadi semakin jarang untuk sempat menjenguk Edith atau menghabiskan waktu bersamanya.

"Jangan sedih begitu. Ketua pengarah benar." Kyra duduk di sebelahku saat waktu istirahat. "Kau sudah remaja, Kyle, dan kalian bukan keluarga sedarah yang bisa tinggal bersama."

"Lalu, apa masalahnya?" Aku mengernyit. "Kami tetap keluarga."

"Apa kau pura-pura tak mengerti atau terlalu lugu? Kau melupakan kelas Bibi Ash?"

"Aku memang tidak mengerti pola pikir kalian."

"Kami yang tidak mengerti pola pikirmu." Kyra tersenyum heran. Dia mengangsurkan segelas cokelat hangat yang segera kuterima. "Usia dan fisikmu saja yang bertambah, tapi sepertinya otakmu tidak."

Apa-apaan kalimat itu? Apa dia sedang mengataiku bodoh secara tersirat? Terkadang, Kyra menjadi teman berbincang yang sepemikiran. Terkadang, dia sangat menyebalkan. Dia menyelipkan helai rambutnya ke balik telinga dan bersenandung.

"Kau senang berada di sini?" tanyanya.

"Tidak ada yang senang di pengungsian, Kyra." Aku meremas arloji di balik saku mantel. Mendadak saja dadaku bergemuruh. Pikiranku berkecamuk setiap kali mengingat itu. Aku bangkit dan akan pergi sebelum Kyra menahan tanganku.

"Tunggu, Kyle!" serunya. "Apa kau—"

"Hah! Lihat siapa yang sempat-sempatnya bermesraan ketika orang lain sengsara!" Morderoy melemparkan hujan salju dari sekopnya yang penuh. Dia tertawa mengejek.

Kyra melepas tanganku, membersihkan salju-salju dari kepalanya dan berbalik kepada Morderoy. Dapat kurasakan auranya yang amat murka. "Kau! Anak nakal!" Kyra membuat bola salju besar dan melontarkannya ke wajah Morderoy. Pemuda itu terbelalak dan membuang sekopnya sembarangan. Dia menunduk untuk membuat lebih banyak bola salju sebelum menembaki Kyra. Sementara mereka terjebak adu perang salju, aku beranjak pergi ke pengungsian di bagian belakang.

[]

Di sana tempat sebagian besar tenda para wanita, lansia, dan anak-anak. Aku mencari seseorang hingga menemukan anak yang mencolok dengan rambut pirang panjangnya. Dia duduk sendirian di ayunan yang pernah dibuat para orang dewasa untuk anak-anak. Ayunan itu tak bisa bergerak lagi lantaran membeku dirambati es.

Aku belajar untuk mengontrol perasaan itu. Perasaan kuat yang ingin terus menyayanginya tanpa pernah putus. Perasaan yang harus tetap ada tanpa boleh mengambil alih kesadaranku. Itu seperti ... aku suka Edith. Aku sangat menyukainya. Aku tak tahu dalam konteks apa. Aku hanya sayang sekali padanya sampai tak mau melepasnya. Bukan karena aku ingin memiliki Edith, tapi karena aku tahu kalau melepaskan dia berarti membahayakan dirinya.

Tapi, orang-orang sering menyalahtafsirkan. Mereka berpikir bahwa kiamat salju ini menggiringku gila sehingga aku mencintai anak yang terpaut jauh. Padahal itu bukan masalah. Kenapa kalau aku mencintainya? Terutama ketika melihat bagaimana punggung kecil dan kesepian itu butuh direngkuh ....

"Halo." Aku menepuk pelan kedua pundaknya dari belakang, menelengkan kepala. "Di mana teman-temanmu? Apa kau ingin bermain?"

Edith diam saja. Dia terus memandang ke bawah.

AvalancheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang