03 | So, It Could Be the Best Moment that Ever Happened, But ...

26 2 7
                                    

♟️

♟️

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

♟️

RONA cokelat keemasan dari kulit garing menerbangkan aroma matang dan memenuhi atmosfer ruang makan. Langkah Veyn seketika terhenti, begitu hidungnya menangkap wangi dari masakan kalkun panggang utuh tanpa kepala.

Gonggongan herder mendistraksi Maisie ketika hendak mengeluarkan satu lagi loyang kecil pencuci mulut. Sambil mengibas ekor, anjing dewasa itu buru-buru menerjang Veyn untuk menggigit celana denim usang yang ditemukan secara sembarang di rak perkakas lumbung. Tentu saja itu semua adalah ide Maisie yang tidak ingin membiarkan Veyn terus-terusan memakai pakaian compang-camping bau tengik, apak, serta amis. Meski wujud sudah tidak layak digunakan, harga setelan yang dikenakan pemuda itu bisa pasutri takar mampu untuk menginap di hotel mewah bintang lima kota metropolitan.

Ketika gigitan itu berhasil menyentak kaki Veyn terangkat ke dalam, pemuda itu masih mempertahankan posisi tegap sekaligus kikuk.

"Anak Muda, kenapa masih berdiam diri di situ? Apa yang kau pikirkan? Ayo, masuklah!" Melihat Veyn bergeming di gawang pintu dengan kaku, Maisie berseru menghampirinya seraya mengelap tangannya dari lumuran tepung basah.

Wanita bertubuh agak gempal itu alih-alih menyambut suaminya, ia justru lebih dahulu menarik lengan Veyn karena tak kunjung masuk, seakan tampak ragu melangkah ke dalam farmhouse-nya. Terlihat dari air muka Maisie menyimpan kerinduan yang amat dalam, seolah-olah sedang bahagia menyambut kepulangan seorang putranya dari perjalanan karier urbannya.

Masih di tengah gawang pintu masuk juga, Gerald menaikkan sebelah alisnya terheran-heran karena Maisie tidak membalas pelukan selamat datang seperti pada hari-hari biasanya. Ia terperangah menyikapi sang istri yang membiarkan dirinya mematung di depan teras. Pria lansia yang masih terlihat cergas menjulang dengan lingkar perut sedang itu menggelengkan kepalanya seraya mengukir senyuman gemas. Kendati tampak menjaga ukuran tubuhnya, tetap saja, waktu telah melarutkan usia. Gerald lekas duduk di kursi samping rak sepatu demi segera melepaskan boot. Barang sejenak, ia membutuhkan waktu untuk mengistirahatkan lututnya dari perjalanan kaki sepuluh kilometer dari tempat proyek.

Ketika menjejakkan pertama kalinya ke dalam sebuah rumah berdinding serba potongan kayu besar, kaki Veyn melangkah melewati bilik ruang keluarga. Arah mata Veyn bergulir untuk menyapu pandang sekaligus memasuki ruangan kecil itu yang hanya diterangi oleh lampu berdiri samping jendela ayun di mana gagaknya sempat berkunjung.

Ada pergumulan tapak jiwa hangat dan masih bernapas lain yang memikat Veyn untuk menyusurinya.

Maisie pun menekan sakelar. Di tengah ruangan, tergantung lampu utama dengan tudung berbentuk kubah berkayu cokelat muda pucat tanpa pewarna tambahan, menerangi objek apa pun dari arah langit-langit.

Sepasang sofa dengan bantalan di kedua sisi sudut yang mampu menampung tiga orang dewasa masing-masing berhadapan layaknya sepasang kekasih yang saling bersemuka penuh sayang. Di antara mereka, hadir meja persegi rendah yang Veyn hidu dari aroma birch. Ada jejak jiwa hangat lain sekaligus legit seperti madu dari Gerald sewaktu menatah batang pohonnya. Meski sedemikian sederhana tanpa ukiran rumit, Veyn dapat merasakan ada sentuhan nuansa kelegaan nan lapang dari bentuk minimalis itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 31, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

"So the Hunt Begins, But..." (MASO WARBYAZAH MONTH 2022) ― ⌠ongoing⌡Where stories live. Discover now