Part 15

154 17 2
                                    

Sellin duduk di pantry seorang diri. Terlihat dadanya bergerak naik turun, dengan hembusan napas yang dibuat teratur. Wajahnya memerah dengan bulir keringat membasahi keningnya. Bola matanya yang bulat melirik ke sana-kemari mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk meredakan rasa panas di dada.

Tapi tentu saja tidak ada. Hatinya akan tenang bila dia memuntahkan amarah yang sejak tadi dia tahan.

Huuuh ... Haaah ...

Dia menarik napas, lalu membuangnya perlahan. Konon, trik ini bisa melegakan rasa yang mengganjal di dalam hati. Namun, lagi-lagi trik itu tidak bisa menenangkan hatinya yang kadung gondok pada Marvin.

"Astaga, aku gak bisa seperti ini terus. Gak enak banget ada yang mengganjal di dalam dada itu!" keluhnya kesal.

"Memang ya, semua Bos itu sama saja. Gak di sini, di Club malam, di mana pun yang namanya bos tetap sama. Sama-sama ngeselin, seenaknya, dan gak mau kalah. Ya Tuhan, tunjukkan keadilanmu pada hamba. Hamba teraniaya," ratap Sellin dramatis.

Akhirnya satu persatu rasa yang mengganjal dihatinya mulai bisa dia keluarkan. Tak ketinggalan sumpah serapah yang dari tadi ingin sekali Sellin lontarkan pun keluar juga dari mulutnya.

Sembari mencuci gelas-gelas yang hanya sedikit tersentuh itu, mulutnya masih setia dengan celotehan kesalnya pada Marvin. Gemas rasanya, ingin sekali dia mencabuti bulu betis dikaki Marvin. Biar tahu rasa, memangnya enak. Kalau sampai ada kesempatan dari Tuhan untuk bisa mencabut bulu betis itu, sudah pasti ia akan sujud syukur.

Suara benda-benda beradu begitu nyaring terdengar. Sellin tak peduli, yang penting semua kerjaan beres dan amarah yang terpendam di hati juga ikut tersalurkan.

"Kasihan banget yang jadi pacarnya. Pasti tersiksa banget punya cowok kayak begitu. Hih, amit-amit deh, jangan sampai aku dapat jodoh yang kayak begitu. Ngapain ganteng juga kalau sifatnya nyebelin minta ampun, mendingan sama Pak Rino saja yang jelas gantel, baik, perfect banget lagi." Sellin tertawa di ujung kalimatnya.

"Kamu ngomongin saya?!" Dinginnya suara itu serasa membekukan ruang Pantry yang tak seberapa ini.

Membuat sendok yang dipegangnya jatuh seketika. Bahunya berubah kaku tak bisa digerakkan. Bahkan, untuk menoleh dan berbalik saja rasanya sangat susah sekali. Sialan, ternyata orang yang dia omongin ada di belakangnya. Bagaimana ini bisa-bisa dia dipecat.

Ingin sekali Sellin berbalik dan langsung meminta maaf pada Marvin. Tapi, bibirnya kelu tak dapat digerakkan begitu pula dengan lehernya yang mendadak kaku bagai seekor babi.

Sellin, ayo minta maaf! batinnya berteriak.

"Kenapa diam? Jadi benar, yang kamu bicarakan barusan tadi adalah untuk saya?!" Suara itu amat sangat terdengar santai dan tenang, dibarengi dengan hembusan angin yang terasa dingin.

Seketika tengkuknya terasa merinding. Tak mau menambah masalah, dia harus meluruskan kesalahpahaman pada bosnya ini.

"Maaf Pak, sepertinya Bapak salah paham. Ini tidak seperti yang Bapak dengar."

Sellin berbalik menghadap Marvin, mencoba menjelaskan maksud ucapannya tadi. Marvin mengangguk tenang, tatapannya tak lepas dari wajah Sellin yang kaku luar biasa. Kemudian, Marvin bersandar pada meja bar dengan satu tangan menopang tubuhnya, dan satu tangan lagi masuk ke dalam saku celana. Seperti model yang sudah siap berpose.

Debar jantung Sellin sudah tak dapat ditolong lagi untuk saat ini. Tubuhnya mendadak menggigil melihat tatapan Marvin yang sangat sulit untuk dia lawan.

'Astaga, aku mau ngomong apa ini!' jerit batinnya meminta tolong.

Sellin menarik napas sedalam mungkin, lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian dia mulai menjelaskan maksud ucapannya pada Marvin dengan kepala tertunduk takut.

I Love You, My Office Girls!Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora