Part 19

111 17 1
                                    

"Sudah selesai semuanya Pak." Diliriknya Marvin tengah serius menatap layar tab di tangannya.

Hening. Marvin tak menjawab perkataan Sellin.

"Pak," katanya sekali lagi penuh kesabaran.

Seharian dia telah berada di apartemen ini. Menata barang belanjaan yang sudah Marvin beli dengan kepala pusing dan menggerutu. Ternyata semua pikiran buruk dirinya terhadap Marvin itu terbukti. Dia dijadikan pembantu di sini.

"Hm," Marvin masih fokus pada layar tipis itu, membuat Sellin kesal setengah mati. Untuk apa dia berlama-lama di sini kalau hanya di suruh menonton Marvin yang asyik bekerja.

"Saya mau ... "

"Kenapa?" tanya Marvin cepat memotong perkataan Sellin. Otomatis dia mengalihkan pandangannya pada gadis yang tengah berdiri di sampingnya ini.

"Saya mau pulang. Sudah sore," jawabnya cepat mumpung Marvin sedang menatapnya.

Marvin mengerutkan keningnya. Kemudian menatap jam di layar tab. Lalu menganggukkan kepalanya seolah paham.

"Jadi, saya sudah boleh pulang?" tanya Sellin dengan binar senang dimatanya.

"Tidak. Kamu kan, belum makan. Sudah duduk dulu sana, biar saya pesankan makanan dulu."

"Tidak perlu repot-repot, Pak. Biar saya makan di kos saja," tolaknya halus.

Marvin menggelengkan kepalanya. "Tidak ada penolakan".

Setelah mengucapkan itu Marvin pun meninggalkan Sellin yang tengah terpaku di tempatnya.

"Astaga, kenapa dia bisa dapat bos 'sebaik' ini, sih," gumamnya pelan dengan penekanan dikata.

Gemas, ingin rasanya dia kabur saja dari sini. Tubuhnya sudah pegal dan lelah. Ingin sekali dia merebahkan punggungnya di kasur kosnya yang nyaman itu. Meskipun sedikit keras tapi baginya tidak ada yang lebih nyaman selain tempat tidurnya di kos. Lebih tenang dan bebas.

Hembusan napas Sellin terdengar keras. Dengan kaki di hentak, dia berjalan menuju sofa. Setelah menjatuhkan bokongnya, dia pun bersandar pada punggung sofa. Empuk dan nyaman. Namun, ini di rumah orang. Itu yang membuatnya tidak nyaman di sini. Dia tidak biasa berada di rumah orang lain selama ini.

"Harus sampai kapan aku menunggu di sini?" keluhnya.

Setelah lelah menggerutu banyak. Perlahan matanya terasa berat, dan tak menunggu lama bola matanya terpejam begitu saja.

Sekitar dua puluh menit Marvin menghampiri Sellin dengan rambut basah. Dia pun menggelengkan kepalanya, lalu melangkah lebih dekat. Membenarkan posisi tidurnya yang sebentar lagi hendak jatuh. Kemudian membaringkannya di sofa panjang itu.

Wajah polos itu terlihat damai dalam tidurnya. Sejenak Marvin terdiam, dia merasa iri melihat kelopak mata yang mampu tertidur dengan damai seperti itu. Setelah kepergian orang-orang yang disayanginya, dia merasa tak dapat lagi tidur dengan nyenyak.

Serangan mimpi buruk di dalam tidurnya membuatnya selalu terjaga, dan enggan memejamkan matanya kembali.

Refleks tangannya terulur, menyingkirkan anak rambut yang berantakan itu. Membawanya ke sisi telinga, setelah itu ia tersenyum kecil saat mendengar dengkuran halus dari mulut mungil itu.

"Dasar bocah jorok," ucap Marvin pelan diiringi dengan senyuman kecil.

Bel apartemen berbunyi, dia segera bangkit untuk membuka pintu. Tak berapa lama dia kembali dengan dua buah kantong plastik di tangannya.

"Ck. Dasar Bos jahat. Singa betina ...."

Marvin mengernyit mendengar Sellin menggumam dalam tidurnya. Dalam hati dia bertanya-tanya, siapa yang dimaksud Sellin itu. Ia berpikir mungkin Sellin masih trauma pernah bekerja di Club, hingga sampai saat ini di dalam tidurnya selalu mengigau seperti itu.

I Love You, My Office Girls!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang