3. Stabbing With a Holly Dagger

67 50 23
                                    

Tim Dae Han keluar dari ruang singgasana. Lord Habriel memberikan mereka petunjuk berupa sumber keemasan, surat pengantar, dan selembar kertas berisi puisi. Atas kemurahan hati Lord Habriel, Tim Emas diberikan izin untuk menggunakan salah satu ruangan di kastel. Bahkan, mereka mendapat kudapan sebagai pengganjal rasa lapar sekaligus menghemat pengeluaran.

“Selamat makan!” Prixi dan Yui menyantap hidangan di atas meja.

Neyza tidak asing dengan puisi tersebut. Di kalangan masyarakat bawah, tulisan indah seperti ini sangat terkenal sehingga tidak mudah dilupakan walau tidak mengetahui arti sebenarnya dari karangan tersebut. Lord Habriel tidak mungkin memberikan sesuatu jika berujung sia-sia. “Apa maksudnya, ya?”

“Puisi ini berjudul Puisi Raja.” Dae Han membolak-balikkan kertas di tangannya. “Judul dan isi puisi ini agak aneh, ya? Sama sekali tidak mencerminkan mengenai seorang raja, justru memberi kesan permohonan dan harapan.”

“Maksudmu?” tanya Neyza tidak mengerti.

Dae Han memejam karena rasa kantuk mulai menyerang. “Perhatikan baik-baik tiap kalimat.”

Penguasa cakrawala membentangkan sayap keteduhan

Bunga kematian mengikat jiwa yang tersesat

Ringkikan hewan memberi nasihat kebajikan

Sinarnya membawa harapan untuk bangkit

 

“Puisi itu mengarah pada sesuatu, terlihat jelas dari pemilihan katanya,” celetuk Yui setelah menghabiskan lima potong roti dan kue kering. “Apakah puisi ini cukup terkenal di kalangan masyarakat? Jika benar, pasti ada petunjuk lain mengenai arti tulisan tersebut.”

Dae Han mencari posisi untuk tidur, ia sudah menguap lima kali. “Be ... tul. Selamat malam!” Setelahnya, ia benar-benar tertidur.

“Dasar tukang tidur!” Prixi mencibir. Ia memberikan potongan roti berlapis cokelat pada Neyza. “Isi perutmu dulu. Kalau lapar, otak tidak akan berjalan dengan benar. Ayo, makan!”

Neyza menerima pemberian Prixi. “Terima kasih.”

Yui melirik Dae Han yang tengah tertidur. Di dalam otaknya sudah tersusun rencana agar laki-laki itu bangun. Saat melirik Neyza dan Prixi, ia meletakkan tangan di depan bibir agar keduanya diam. “Jangan berisik! Aku mau membuatnya bangun.”

“Oh tidak, Yui akan membangunkan raja singa,” kelakar Prixi.

Neyza menoleh. “Apa maksudmu?”

Sementara itu, Yui sudah memasukkan potongan roti kering ke mulut Dae Han, lalu  berlari keluar ruangan agar tidak terkena amukan. Tak lama, Dae Han terbangun dengan wajah memerah. Ia terbatuk, tenggorokannya terasa panas. Dae Han segera meneguk segelas air dengan napas memburu.

“Siapa yang melakukan ini?” geram Dae Han lalu melirik ke arah Neyza dan Prixi. Ia tidak curiga pada keduanya. Saat menyadari Yui tidak ada di ruangan, barulah ia sadar kalau gadis itu yang melakukannya. “Yui! Ingatkan aku untuk membakar semua husbu-mu selepas misi nanti!”

***

Yui melirik Dae Han, laki-laki itu sepertinya benar-benar marah, padahal ia hanya ingin bermain-main. Lagi pula nyawa Dae Han masih aman, belum mati, jadi tidak seharusnya laki-laki itu marah. Ia menarik tangan Neyza lalu berbisik, “Neyza, apakah Dae Han marah besar?”

“Mungkin. Sedari tadi wajah Ketua seperti ingin memakan orang,” jawab Neyza yang setengah bercanda.

Dae Han mendengkus, tentu saja ia mendengar dengan jelas bahwa kedua gadis itu tengah membicarakannya. “Dasar para gadis, suka sekali bergosip!”

Precious MemoryWhere stories live. Discover now