42. Jangan Bilang Cinta

1K 254 42
                                    

Halllooooo, Deers! Rabu yang cerah, semoga hati kita juga ikut cerah. Awali hari dengan senyum. Kalau lagi rehat, nih ... Dee bakal update kisah Menik dan Yuuto. Semoga terhibur yak.

💕💕💕

"Saya mandi dulu saja. Badan saya lengket." Menik mengurai gandengan tangan Yuuto. Dia merasa tidak nyaman dengan penampilannya. Kebaya yang robek, wajah yang penuh memar dan debu, serta keringat yang melekat.

Menik memeluk badannya sendiri, sambil membuang muka saat Yuuto menatapnya dengan intens.

"Baiklah. Setelah mandi, aku akan ke kamarmu untuk membawakan obat."

Dari sudut matanya, Menik bisa menangkap senyum manis Yuuto yang selalu membayangi mimpi-mimpinya. Seketika jantung berdetak dengan kencang karena rasa rindu yang selama ini dia tekan, berjejalan ingin meledak.

Apakah ini cinta? Atau hanya sekedar rasa kagum karena ada orang Nippon yang baik hati?

Namun, tiba-tiba dia teringat pembicaraan dengan Kolonel Kagami siang tadi. "Pulanglah ke rumah Kagami. Di sana kamu aman. Aku akan membuat kamu sebagai tahanan rumah. Kamu aman, maka Yuu-chan tak akan bertindak nekat."

Ya, Menik tidak akan mengira dia akan kembali ke rumah itu. Bertemu lagi dengan lelaki yang selalu menghantui malam-malam panjangnya.

Menik lantas berlari ke belakang. Begitu memasuki kamar, dia mengunci pintu. Disandarkannya punggung yang bergetar karena diguncang perasaan yang menggelegak.

Tidak bertemu satu bulan saja, wajah Yuuto yang tirus itu terlihat sangat menawan. Apalagi kumis tipis yang menghiasi atas bibirnya. Ah, tiba-tiba Menik teringat kecupan panjang dan dalam Yuuto di pinggir Kali Ciliwung yang membuat desir di sepanjang tulang belakangnya karena belaian bulu halus di wajah Yuuto.

Menik menggeleng kencang. Bagaimana mungkin dia kembali mengingat kejadian itu? Tapi, begitu melihat Yuuto yang tergopoh menyongsong kedatangannya dengan wajah cemas, Menik sebenarnya juga ingin menghambur ke pelukan lelaki itu untuk meluapkan rasa rindunya.

Setelah bisa menetralkan jantung yang berdetak kencang karena pertemuannya kembali dengan Yuuto, Menik lalu membasuh badannya. Entah kenapa, walau malam sudah larut dan badan Menik terasa lelah, tangannya masih setia menggosok kulitnya. Dia tidak ingin ada setitik pun daki yang menempel. Bahkan Menik sudah menghabiskan hampir seperempat sabun batang yang baru, berharap wanginya bisa menutupi bau asam, anyir, amis, dan pesing ruangan sel yang bersatu dengan peluhnya.

Selesai mandi, langkah Menik terhenti saat membuka kamar. Dia membeliak mendapati Yuuto sudah duduk di ranjangnya dengan tas berisi obat dan alat pemeriksaan yang selalu dibawa Yuuto. Wajahnya seketika memerah karena dia hanya mengenakan jarik yang digunakan untuk melilit tubuhnya.

"Sensei ...." Menik berbalik. Dia bingung, hendak maju atau mundur. Kalau mundur, dia akan keluar dari kamar. Kalau maju, Yuuto ada di depannya. Dia merutuk dirinya karena tidak membawa baju ganti dari kamar. Padahal sebelumnya dia tidak pernah berbuat seperti itu.

Menik hanya bisa berdiri terpaku di lantai marmer menghadap pintu dengan tangan yang menggenggam erat ujung jarik di dadanya. "Sebaiknya Sensei keluar dulu. Saya akan berganti baju."

Derik ranjang terdengar. Suara langkah sepatu lars yang mendekat semakin keras. Menik menyangka Yuuto akan mengikuti ucapannya.

Tetapi, alih-alih keluar, Yuuto justru memeluk Menik dari belakang. Lelaki itu menurunkan kepalanya di bahu Menik sambil memejamkan mata. "Harum ... aku hampir ketiduran menunggumu mandi Menik-san."

Susah payah Menik menelan ludahnya sendiri. Apalagi ketika embusan napas hangat yang menguarkan wangi manis itu menggelitik tengkuk yang belum kering betul. Ah, bagaimana bisa dia menepati janji pada Kolonel Kagami agar tidak mengucapkan cinta. Rengkuhan Yuuto justru membuat rasa yang ada di hatinya ingin meluap. Bila kata itu terucap, Menik yakin itu akan menyakiti mereka berdua.

Menik (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang