BAB 4 || Catur Halu

238 87 3
                                    

"Itu..." ucapnya menggantung.

Aku semakin penasaran apa yang akan dia katakan selanjutnya. Refleks wajahku maju beberapa senti untuk menyimak apa yang akan ia ucapkan selanjutnya.

"Lo gak perlu tau." akhirnya sambil memandangku aneh, raut wajahnya tak bisa diartikan, dan tatapan matanya menyiratkan sesuatu.

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Sekarang bukan saatnya lo tau." katanya lagi.

Arrggghhh! Kenapa dia membuatku menjadi arwah penasaran! Kenapa dia tidak langsung memberi tau saja, toh juga tidak akan terjadi apa-apa!

"Terserah lo dah! Terus kenapa lo tau gue dapet mapel geo di jam pertama?" tanyaku lagi.

"Waktu gue mau ke toilet, gue liat ibu Tiri masuk kelas lo." jawabnya santai.

"Lo anak IPS juga? Kok gue gak pernah liat lo selama ini?" kataku terheran-heran.

"Menurut lo?" katanya tersenyum miring.

"Lo nya aja yang gak pernah perhatiin sekitar lo. Lo itu terlalu fokus sama sesuatu yang lo suka, sedangkan di sekitar lo seolah-olah gak berharga dan lo gak pernah peduli sekalipun." katanya datar tanpa mau menatapku seperti sebelum-sebelumnya.

"Maksud lo apaan? Gue gak ngerti apa yang lo bilang." kataku bingung sambil menatapnya.

"Lo pikirin aja sendiri. Belajar buat diri lo peka terhadap sekitar lo. Jangan menatap terlalu jauh yang nantinya susah buat lo gapai. Coba liat sekitar lo dulu, disitu ada sesuatu yang gak pernah lo tahu bahkan lo gak pernah lirik sekalipun." ucapnya dengan wajah yang susah diartikan, tatapannya menyiratkan suatu hal yang ingin diungkapkan namun sepertinya tak bisa ia lakukan.

"Gue sebenarnya gak tau maksud dari omongan lo barusan itu apa. Tapi yang gue tau, pasti ada sesuatu yang ingin lo ungkapin. Tapi lo gak bisa lakuin. Gue gak bakal maksa lo buat cerita ke gue mengenai hal apa yang mengganggu pikiran lo itu. Gue sadar, gue cuma orang asing yang gak sengaja ketemu sama lo." kataku panjang lebar.

"Di dunia ini gak semuanya terjadi tanpa sengaja. Ada kalanya sesuatu terjadi karena telah direncanakan." tatapan dan wajahnya berubah serius.

"Tapi sekarang bukan waktunya lo tau. Ada kalanya lo bakal tau itu perlahan lahan." sambungnya lagi. Lalu ia berdiri dan menghampiri ibu pemilik warteg dan membayar pesanan kami.

Kami keluar dari warteg tersebut. Kemudian Edwin kembali menggendongku menuju tempat semula kami memanjat dinding.

Disaat kami telah berada di lingkungan sekolah. Lantas aku segera memakai sepatuku dan kami berjalan ke arah parkiran sekolah untuk mengambil tasku.

Setelah itu bel berbunyi menandakan pergantian jam pelajaran. Kami melewati koridor demi koridor kelas dengan aku yang berjalan di depan, sedangkan dia mengekor di belakangku.

"Btw, makasih ya udah traktir gue makan." kataku tulus sambil terus berjalan.

"Oh ya, lo belom ngasi tau gue. Lo kelas XI IPS berapa?" tanyaku namun tak kunjung dijawab olehnya. Lantas aku menoleh ke belakang untuk melihatnya. Namun, betapa terkejutnya aku karena saat ini tidak ada siapa-siapa di belakangku.

Oh God! Dia pergi kemana?! Kenapa dia tiba-tiba menghilang?! Dasar orang aneh, datang dengan tiba-tiba lantas pergi juga tiba-tiba!

Kalau misalnya aku yang menjadi pasangannya, bisa-bisa darah tinggi aku menghadapi kelakuannya yang seenaknya itu, belum lagi tingkahnya yang tengil yang membuatku selalu ingin berkata kasar!

My True First LoveWhere stories live. Discover now