Mungkin Ini Jawaban

1.7K 134 2
                                    

Peringatan: Ini akan panjang sekitar 2k kata

15 Januari 2014

Menunggu matahari terbit adalah rutinitasku selama enam tahun terakhir. Saat malam datang aku merasa senang dan takut sekaligus, berharap matahari segera muncul, setidaknya aku sendirian dalam terang. Namun, ketika matahari muncul, aku juga lega dan takut sekaligus. Takut tidak sanggup melalui hari ini dan memilih menyerah untuk melawan diriku sendiri.

Aku mengharapkan malam dan pagi sekaligus, seperti mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi dalam satu waktu. Walau begitu aku tak pernah berhenti berharap hal itu akan terjadi, barangkali pada saat itu seluruh kesakitan dan pertanyaan tanpa jawab yang membebaniku selama ini akan menemukan obatnya.

Aku selalu menanti waktu di mana seluruh tubuhku lebur, tidak lagi memiliki pertanyaan atau merasa sakit. Menjadi cahaya dan hanya memiliki satu perasaan, yaitu hangat.

Di ufuk timur sana, akhirnya yang kutunggu-tunggu datang. Semburat jingga menampakkan kekuasaannya, seolah mengatakan padaku untuk tidak takut lagi. Aku paling suka momen ini dan tidak pernah melewatkannya satu kali pun selama enam tahun. Sebab perasaan leganya akan muncul hanya dalam hitungan detik, kemudian melebur dengan ketakutan seiring matahari semakin tinggi.

Aku sedang jongkok sembari merasakan jantung berdegap-degap, bahkan tadi degapnya terasa sampai pipi—setelah selesai latihan dengan kettlebell delapan kilo.

"Warnanya cantik."

Adalah juga kalimat rutin yang kulontarkan, entah untuk apa. Mungkin untuk mengafirmasi perasaan lega dan mengelabui rasa takut, agar datang lebih lambat beberapa detik saja karena aku masih ingin menikmati rasa lega ini. Tentu saja tidak bisa, seperti matahari yang selalu tepat waktu, perasaan takut itu juga berotasi dengan aku sebagai porosnya. Hanya tersamarkan, tak pernah benar-benar tenggelam.

Rutinitas selama enam tahun berotasi seputar rumah dan pasar atau minimarket terdekat. Rumah yang kutinggali sendirian ini terletak di pedesaan yang syukurnya lumayan dekat dengan jalan raya, jalan raya satu-satunya di daerah kami, bisa dibilang jalan utama untuk pergi ke kota-kota lain. Sehingga paling tidak, aku tidak merasa benar-benar sendirian di bumi.

Aku berdiri dan menghela napas panjang, sudah waktunya berganti ke rutinitas lain. Aku mengerjakan seluruh rutinitas untuk meyakinkan diriku, bahwa aku bisa melalui kehidupan ini, dan tentunya masih baik-baik saja.

Seperti biasa, setelah mandi dan memakan overnight oat dengan tambahan selai kacang, madu, dan irisan apel hijau, aku naik ke lantai atas membawa secangkir kopi. Aku butuh kafein sama butuhnya dengan matahari, agar bisa terus terjaga akibat malam-malam panjang yang tak pernah bisa membuatku terpejam selain dua atau tiga jam saja. Sisanya kucuri-curi saat siang, sebab lebih dari apa pun, aku tidak ingin melewatkan terangnya bumi.

Kubuka pintu ruangan di sebelah kamarku, kutekan sakelar yang ada di sebelah pintu. Cahaya pagi hari belum mampu menerangi ruangan ini walau kubuka tirai jendela atau jendelanya sekalian. Justru nyamuk yang akan masuk jika jendelanya dibuka.

Sudut yang pertama kali kutuju adalah meja dekat jendela, tempat biasa aku menghabiskan waktu. Di sana ada laptop putih yang usianya sudah lima tahun dan tadi sudah kunyalakan, terminal listrik, dan peralatan tulis. Ruangan ini dikelilingi rak buku yang menempel di hampir seluruh dinding, yang sengaja kubeli dan kususun sendiri. Kusisakan sepertiga saja dinding kosong untuk menatap jauh ketika mata jenuh dengan layar. Di tengah ruangan kutaruh bean bag lucu berwarna cokelat, yang kulihat saat membeli rak buku. Tempat membaca paling nyaman, tempat aku mencuri-curi waktu untuk tidur. Selain itu tidak ada apa-apa lagi di ruangan ini.

Mengejamu (Completed)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt