Terlahir

286 62 1
                                    

Ada satu hal yang tidak kuberitahukan kepada Bulan, Mentari, dan Fajar. Hari ini adalah tanggal satu, hari di mana ritual tatap muka dengan Bapak biasa terjadi. Aku saat ini seharusnya sedang mengantar mereka bertiga untuk pulang ke rumah, tetapi di depan kami berdiri seorang pria paruh baya dengan alisnya yang menukik.

Aku sengaja membuat pria itu bertemu dengan ketiga adikku. Ini adalah hari di mana aku ingin memperlihatkan kepadanya bahwa hubungan darah yang kental tidak begitu berarti bila disia-siakan. Aku kembali ke sini semata-mata hanya untuk memanfaatkan fasilitas yang diberikan semesta sebagai manusia yang kebetulan terlahir menjadi anaknya.

Hanya itu saja.

"Bapak nggak perlu datang setiap tanggal satu, saya punya banyak uang, saya nggak perlu uang Bapak."

Pria paruh baya ini menatapku dengan sorot tajam dan rahang yang mengatup erat, seperti sedang menahan amarah. Aku yakin beliau memang marah. Namun, dengan cepat perhatiannya tertuju pada Bulan. Senyum anehnya mengembang.

"Bapak cuma berlaku layaknya seorang Ayah. Kamu harus bersyukur memiliki Ayah yang bisa menghidupimu, Bin." Matanya menatap satu per satu adik-adikku. Sialan, dia sedang mengejek. Aku semakin membencinya setengah mati.

"Pak!" Aku membentaknya. Namun, dia tidak menghiraukanku, matanya berhenti lagi pada Bulan.

"Apa kabar, Bulan? Sudah lima tahun sejak terakhir bertemu ya?"

Kali ini kalimatnya membuat alisku bertaut. Lima tahun? Aku menoleh dan menatap Bulan, wajahnya pucat menatap Bapak. Aku kembali melihat Bapak yang tersenyum seperti seseorang yang telah memenangkan pertandingan.

"Ibu sama adikmu itu datang ke rumah Bapak lima tahun lalu buat minta uang."

"Uang?" Tubuhku menggigil sekarang. Semoga. Semoga. Semoga. Semoga bukan sesuatu yang dengan mudah kembali membalikkan keadaan. Aku belum siap keluar dari kehidupan indah yang kupunya selama dua minggu ini.

"Ibumu minta semua biaya yang pernah dia keluarkan buat kamu, Bin. Ibumu bilang dia berhak dapat imbalan karena membesarkan kamu."

Aku tidak bisa lebih hancur daripada ini. Semesta, apakah aku sungguh tidak seharusnya lahir? Karena aku merasa kau amat membenciku. Apa dosaku? Aku tidak sanggup merasakan seluruh tubuhku. Aku lebur, tetapi sama sekali tidak hangat, degup jantung memenuhi ruang hampa di mana kesadaranku berpusat.

Sampai Bulan menyentuh lenganku, baru kurasakan kembali diri ini perlahan-lahan. Aku menatap Bulan tidak percaya, tidak ada kalimat yang bisa keluar dari bibir ini. Namun, permintaan maaf lirih darinya telah memvalidasi kebenaran yang dikatakan pria tua di hadapan kami.

"Uang memang segalanya, Bintang. Kamu jangan marah begitu, kamu nggak perlu naif begitu." Beliau mendekat padaku dan menyerahkan amplop yang dalamnya berisi setumpuk uang. "Bulan ini Bapak nggak perlu sarapan di sini. Kamu bisa antar adik-adik kamu, itu kalau masih mau."

Beliau membalikkan badan dan hendak pergi.

"Kenapa Bapak perlu saya di sini?" Pertanyaan ini sudah bergentayangan sejak lama, tetapi aku tidak ingin ambil peduli. Toh, pria di hadapanku ini tidak penting-penting amat. Selagi aku bisa memanfaatkan dirinya, tak apa bila dia juga memanfaatkanku untuk sesuatu yang tidak kumengerti.

"Dulu, Bapak sama sekali nggak peduli. Ibu ... Ibu harus banting tulang demi saya! Bapak di mana waktu itu, ha?" Beliau berbalik, menatapku lurus-lurus. Lagi, rahangnya mengatup keras.

"Ini semua karena Bapak! Ini semua salah Anda, Pak! Anda sama sekali nggak merasa bersalah sudah menghancurkan hidup seorang wanita, seorang anak? Bapak yang memulai kekacauan ini dan tidak pernah merasa bersalah." Aku tertawa, sungguh rasa humorku menjadi serendah ini membayangkan setiap malam pria tua ini tidur nyenyak. Sedangkan banyak kehidupan ia rusak, banyak ketenangan tidak lagi berjalan semestinya.

"Masa lalu cuma masa lalu, Bintang. Itulah kebodohanmu, nggak sanggup melepaskan diri dari masa lalu. Bukan salah saya kalau ibumu, kamu, atau adikmu nggak mau lepas dari masa lalu."

Bajingan!

Napasku memburu. Bulan dan Mentari mulai memintaku untuk menyudahi ini. Mereka tampak ketakutan, aku akan meminta maaf untuk itu nanti, biarkan Mbak menyelesaikan hal yang sejak lama tertahan.

"Jadi kenapa Bapak membutuhkan saya di sini? Ego? Membayar penyesalan atas rasa bersalah? Untuk merasa menang atas Ibu?" Kali ini bukan hanya rahangnya yang mengeras, tetapi beberapa detik sebelum mendaratkan tamparannya di pipiku, tangannya mengepal kuat-kuat. Itulah mengapa aku terhuyung ke belakang. Telingaku berdengung dan lidahku mencecap rasa darah. Aku perlu beberapa saat untuk menormalkan diri sebelum menatapnya nyalang.

"Inilah Anda yang sebenarnya. Kenapa harus pura-pura baik selama ini?" Kendati aku berusaha untuk tidak takut, tetapi tubuhku tidak mau bekerja sama. Aku tremor. Dengan kedua alis menyatu ia melihat tubuhku menggigil hebat.

Sebetulnya ada alasan mengapa selama ini aku diam. Sebab diam-diam tubuhku berkhianat, setiap melihatnya jantungku berdebar liar. Perasaan takut itu menyeruak ke permukaan. Bayangan masa lalu berputar-putar seperti film horor. Waktu itu aku berusia lima tahun. Pria itu memukul Ibu sampai berdarah-darah, sedangkan aku memeluk lutut di pojok rumah sembari tidak bisa melepaskan mata dari pandangan biadab di hadapanku. Lalu setelah puas memukul Ibu, dia akan datang kepadaku dan memelukku erat sebelum tertidur.

Sedangkan aku menggigil ketakutan di pelukannya, Ibu terisak dan merintih di lantai, dan dia tidak terusik sedikit pun. Itu semua ia lakukan secara sadar, tidak mabuk sama sekali. Sama sekali.

Aku benci perasaan takut ini. Aku membencinya setengah mati. Namun, aku takut kepadanya? Sialan! Aku benci melihatnya tetap hidup dengan baik-baik saja selama ini. Bahkan akhirnya berkeluarga dan memiliki keluarga bahagia dengan istri dan satu anak tirinya.

Biadab! Aku membencinya.

"Kalau." Suara yang keluar dari bibirku teramat lirih dan bergetar. "Kalau Anda pernah sedikit saja bersyukur atas kelahiran saya. Tolong, tolong jangan pernah lagi muncul di depan saya."

Dia diam di tempatnya dengan tetap menatapku, lalu berbalik dan pergi. Setelah ia pergi, tubuhku seperti kehilangan seluruh tulangnya. Aku luruh bersimpuh ke lantai, rasa sesak ini teramat sakit. Berbagai emosi memunculkan diri sampai aku kewalahan merasakan perasaan yang membludak ini. Aku bahkan tidak bisa menamai mereka, yang kurasakan hanya ... lelah.

Duniaku kembali tidak karuan.

***

Mereka berpikir itu adalah bentuk cinta, tetapi benarkah demikian?

Baiklah selamat membaca dan semoga harimu menyenangkan, kali ini nggak note-ku nggak panjang-panjang soalnya malam Minggu. Kasihan kalian kalau baca note serius terus.

27 Agustus 2022/18.17 PM

Mengejamu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang