Hati (tak) Bertuan 6

218 42 8
                                    

Ehem....

Adakah yang masih menunggu Bulan dan Bhumi?

Kalau dilihat, lapaknya.masih sepi bangetttttttttttt....

Ramaikan dong....

Satu..

Dua..

Tiga..

Mulai...📢

Jangan lupa jaga kesehatan..

Im

***

"Percuma Bu, tetap saja nanti minta email. Jadi, lebih baik, Bu Bulan buat email-nya dulu. Jadinya bikin sosmed apapun bisa gampang."

Bu Yolanda salah satu guru di sekolah tempatku bekerja sedang membantuku membuat sosial media. Katanya dengan sosial media kita bisa mencari tau mengenai siapapun. Siapa tau aku bisa mencari tau lebih banyak mengenai Bhumi tanpa sungkan bertanya padanya. Kata Bu Yolanda, stalking namanya.

Tetapi ternyata membuat sosial media tak semudah yang ku bayangkan. Kini aku menemui kendala, aku tak memiliki email. Dan kini aku sedang diarahkan Bu Yolanda untuk belajar membuat email di salah satu aplikasi dimana banyak video disana. Dengan melihat video, aku lebih mudah membuat sendiri katanya.

Beberapa kali aku mencoba mencari sosial media milik Bhumi. Tapi nihil. Wajah pria itu tak juga muncul di nama-nama yang kini berjejer di layar ponselku.

Lagi. Aku mencoba mencari namanya dengan mencantumkan nama lengkapnya serta perusahaannya. Nihil juga. Dan aku menyerah.

Apakah mungkin orianituntak memiliki akun sosial media sepertiku?

Tapi kaya Bu Yolanda orang jaman sekarang tak mungkin tak memiliki sosial media. Sebab itu akan mempermudah orang yang memiliki perusahaan besar seperti keluarga Bhumi dalam berteman dan berbisnis. Meskipun tadi aku tak menyebutkan siapa yang ingin aku stalking pada Bu Yolanda. Tapi aku rasa jawaban Bu Yolanda seperti paham benar keinginanku.

Kalau sudah begini, aku rasanya semakin menyesali kehidupan tertutupku selama ini. Di kampung, aku tak memiliki teman yang sesungguhnya teman. Yang bisa aku ajak curhat, ataupun yang aku inginkan ke rumahnya.

Kehidupanku hanyalah rumah, pekerjaan dan Mentari saja. Menjadi orang tua tunggal dengan tanpa status membuat kami selalu dikucilkan dan dipandang hina. Belum lagi belasan tahun harus memendam rasa sakit sebab Mentari selalu dikatakan anak haram. Tanpa mereka mau tau apa yang sebenarnya terjadi pada kami.

Dan kini, aku didepan ponselku dengan segudang rasa berkecamuk dikepalaku yang aku tak tau harus bagaimana.

Aku harus tau statusku sebagai istri yang bagaiman. Agar ketika hal yang terburuk terjadi aku sudah siap dengan apapun yang kumiliki untuk membela diri.

"Bu... Ibu..."

Aku terkaget dengan tepukan dan panggilan Bu Nurul.

"Ada apa ya Bu?" Napasku memburu, seolah baru saja berlari. Melamun memang kadang semelelahkan ini.

"Saya panggil dari tadi. Malah ngelamun." Bu Nurul tertawa. Seolah aku yang terkaget adalah hal lucu baginya. Dan lucunya aku kini ikut tertawa. Menertawakan diriku sendiri yang bergulat dengan masalah yang aku tak berani menyelesaikan nya. Maksudku, aku seharusnya bisa bicara berdua dengan Bhumi dan membahas kejelasan status kami. Tetapi aku justru memilih cara tersulit dengan stalking di sosial media selama berjam-jam dan tanpa ada hasilnya. Astaghfirullah... Rugi waktu.

"Ada apa ya Bu Nurul?" Tanyaku kembali.

"Itu, Bu. Lauk yang kemarin masih sisa. Ada di kulkas. Hari ini saya sudah masak lagi. Sudah saya siapkan di lemari lauk. Kalau yang di kulkas tidak dimakan, mau saya bawa pulang, boleh Bu? Ada cucu datang. Lumayan buat makan bersama." Ucap Bu Nurul malu-malu.

Hati (Tak) Bertuan (On Going 2x seminggu)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن