MENENANGKAN HATI ANDINI

1K 53 0
                                    

Andini kini berada di rumahnya sendiri. Gusti yang mengantarkannya pulang. Dengan kondisi seperti ini, Gusti akhirnya memilih menemani Andini di rumah. Dia tahu tidak baik seperti ini. Tapi kondisi Andini sekarang sedang labil dan butuh penjagaan. Dia takut Andini akan nekat menggugurkan kandungannya lagi seperti tadi.

"Aku bikinin teh hangat buat kamu. Aku juga bikin kopi, Din. Maaf aku lancang ambil sendiri di dapurmu. Habisnya ga ada siapa-siapa."

"Gapapa Gus. Makasih." Andini menerima secangkir teh hangat dari tangan Gusti. Lalu meneguknya pelan-pelan karena masih terasa panas di lidahnya

"Kamu beneran ga minum tadi? apa sudah ada yang tertelan? kalau sudah, besok pagi kita ke Dokter kandungan. Biar dicek kandunganmu baik-baik saja apa enggak."

"Beneran Gus. Aku sama sekali belum minum. Aku ga kuat nyium baunya. Ga tahu. Mungkin bawaan orok." Andini terlihat frustasi.

"Tolong jangan pernah coba-coba lagi melakukan itu, Din. Dia itu darah dagingmu. Banyak bayi yang lahir cacat karena ibunya berusaha menggugurkan kandungan dengan cara minum sesuatu yang membahayakan saat hamil. Semua karena mereka tidak siap hamil, tapi harus hamil. Ya contohnya wanita-wanita yang hamil di luar nikah. Kalau sudah begini, apa mereka ga akan menyesal sebagai seorang ibu? melihat anaknya lahir cacat karena kesalahan ibunya sendiri saat hamil. Ingat, Din. Di luar sana banyak wanita yang ingin hamil sepertimu. Tapi Allah belum mengizinkannya. Lagi pula kamu hamil juga ada bapaknya kan? kenapa harus khawatir?"

"Aku ga mau hamil anaknya Galang. Aku benci Dia. Sampai sekarang Angga juga belum dibalikin. Malah terakhir Angga video call pake hp maduku. Dia bilang ga mau tinggal sama Aku. Aku jahat katanya. Siapa yang menanamkan seperti itu pada anakku? kelak jika anak ini lahir, Dia juga akan di doktrin seperti Angga kan? kalau Galang sampai tahu ini juga anaknya. Aku ga kuat disakiti anakku, Gus." mata Andini berkaca-kaca. Dia mengingat kembali saat kemarin Angga video call dengannya.

"Sabar ya Din. Kamu pasti bisa mengatasinya. Kamu wanita yang hebat dan kuat. Jadi jangan terpuruk seperti ini."

"Gus, nikahin aku ya. Aku benar-benar ga mau Galang mengusik hidupku lagi. Biar saja Dia tahunya aku hamil anakmu."

"Din, itu bukan solusi terbaik. Kalaupun aku mau nikah sama kamu, itu juga ada waktunya. Yaitu setelah masa iddahmu habis. Sekarang kan kamu sedang dalam masa Iddah. Kalau kamu sedang hamil saat bercerai dari suamimu, berarti masa iddahmu selesai saat kamu melahirkan nanti."

"Jadi tujuh bulan lagi? lama banget.."

"Ya begitulah. Karena semua ada aturannya."

"Lagi-lagi aku harus kejebak dalam situasi yang ga pernah menguntungkan. Selalu saja aku yang harus rugi. Padahal Galang bisa nikah sesuka hati. Ini ga adil buatku, Gus."

"Karena laki-laki dan perempuan itu berbeda Din. Berbeda tanggung jawabnya. Ketika ijab qabul sudah terucap, artinya tanggung jawab sudah bukan pada ayahmu lagi. Tapi sudah beralih pada suamimu. Kalau kamu melakukan kesalahan, suamimu juga yang akan dimintai pertanggung jawaban nanti di akhirat. Begitu sih yang aku dengar dari ustadz yang biasa ngisi kajian di kantor. Seminggu sekali di kantor ada kajian. Banyakan sih tentang rumah tangga. Karena banyak di antara anggota kami yang sering tidak bersyukur dengan rumah tangga yang dibinanya. Jadi sedikit banyak aku tahu meski aku belum berumah tangga."

"Oh sekarang aku tahu kenapa suamiku langsung memutuskan menikah lagi. Mungkin karena Dia takut tidak bisa bertanggung jawab nanti di akhirat kalau punya istri modelnya seperti aku ini. Ya kan Gus?"

"Kalau itu aku ga tahu, Din. Aku juga ga mau berprasangka buruk. Kamu ga pernah nanya sama suamimu?"

"Pernah. Jawabannya karena aku ga bisa diatur. Makanya Dia nikah lagi."

"Kalau itu aku kurang setuju. Tidak sejalan bukan berarti harus cari pengganti. Tapi justru ini adalah tanggung jawab suami yang harus mendidik. Ayo habiskan dulu tehnya. Nanti keburu dingin. Sepuluh menit lagi aku pulang ya Din. Aku harus nengok Ibuku di rumah sakit."

"Maaf ya Gus. Aku jadi ganggu waktumu."

"Gapapa tapi tolong jangan ulangi lagi ya. Niatmu itu sudah kriminal, Din. Meski kamu ibunya dan kamu punya hak akan anakmu. Tapi meniadakannya dengan sengaja itu adalah dosa." Ucap Gusti sambil menyeruput kopi hitamnya. Dia berusaha menenangkan hati Andini. Dia tahu Andini memang sedang depresi sekarang. Menguatkan mentalnya adalah yang paling penting saat ini.

"Aku ga janji, Gus. Aku ga tau. Kadang pikiranku kalut. Aku sama sekali ga bisa berfikir jernih. Kayak tadi. Tiba-tiba aku mau gugurin anak ini aja."

"Maaf Din. Kalau boleh aku saranin, kamu perbanyak shalat, dzikir, mengaji. Selain hatimu menjadi tenang, kamu juga bisa menanamkan nilai-nilai kebaikan pada calon anak dalam kandunganmu."

"Aku--" Andini malu pada Gusti. Malu untuk jujur kalau sebenarnya Dia jarang shalat. Apalagi dzikir dan mengaji.

"Kamu masih shalat kan?"

"Kadang."

"Koq kadang?"

"Galang dan Kartika yang konon katanya shalat lima waktu saja, gampang banget nyakitin hati orang lain. Mendingan aku kan jarang shalat tapi ga nyakitin hati orang lain."

"Ga ada yang mending kalau begitu Din. Tapi jangan pernah salahkan shalatnya. Karena shalat itu wajib buat kita umat muslim. Setidaknya masih ada rasa takut ketika kita masih shalat. Takut pada Allah kalau kita berbuat buruk."

"Mereka berdua ga tuh."

Gusti sampai kehabisan kata-kata saat menasehati Andini. Wanita ini mungkin hatinya sedang keras. Susah sekali untuk disentuh. Tapi Gusti yakin Andini bisa berubah. Dan Dia tidak akan menyerah untuk membimbing Andini.

"Kenapa Diem? bener kan?" Andini menyelonjorkan kakinya. Kini terlihat sekali kakinya yang jenjang. Karena Dia mengenakan rok yang panjangnya sedikitdibawah lutut. Kuku-kukunya juga diwarnai dengan warna merah. Membuat Gusti akhirnya memalingkan wajahnya karena takut tergoda imannya.

"Gapapa. Aku doakan kamu lekas dapat hidayah, Din. Oh ya kapan-kapan aku ajak nengok Ibu ya. Ibuku butuh teman ngobrol sesama perempuan. Mungkin mengobrol denganmu bisa mengurangi beban pikirannya. Karena penyakitnya saat ini kan sumbernya dari pikirannya sendiri. Ya sejak Ayahku meninggal kayaknya Ibu jadi tidak punya semangat hidup. Jadi banyak pikiran."

"Aku??" Andini cukup trauma bicara dengan orang tua. Dalam bayangannya, Ibunya Gusti sama dengan Ibunya Galang yang matre dan cerewet. Kalau banyak yang Dia beri akan dipuji. Kalau sedikit, dibilang pelit."

"Eh.. koq bengong?"

"Eh.. gapapa. Iya Gus. Aku mau. Kamu bilang aja kapan aku harus ke sana. Aku akan ke sana. Tapi sama kamu ya." Andini tak enak hati menolak keinginan Gusti.

Ceklek!!

"Oh.. bagus.. rupanya kalian sudah tinggal satu rumah ya."

ISTRI YANG TAK DIINGINKANWhere stories live. Discover now