17. Kehilangan Akal

734 90 3
                                    

Bunyi dering alarm memaksa Erisa untuk membuka mata. Dengan peluh di pelipis dan nafas yang memburu, Erisa menyibakan selimut yang membungkus dirinya. Kaki yang ditekukan menumpu kedua telapak tangannya, yang kini menutup wajahnya. Ia bersyukur itu semua adalah mimpi. Tidak bisa ia bayangkan bagaimana jika itu memang terjadi di dunia nyata, Erisa pasti akan mengompol di tempat. Itu benar mimpi 'kan?

Ah! Alaram itu belum ia matikan. Erisapun mengambil jam wekernya, jarum panjang tepat berada di angka dua belas, dan jarum pendek tepat berada di angka lima. Ini adalah waktunya ia untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Setelah menekan tombol off, Erisa langung meletakan jamnya ketempat semula.

Namun sesuatu menggelitik mata Erisa. Plastik apa yang ada di meja sebelah tempat tidurnya? Erisa mengubah posisi duduknya, kini ia duduk dipinggir ranjang dengan telapak kaki menyentuh lantai. Ia mengambil bungkus plastik tersebut, dan membukanya.

Betapa terkejutnya Erisa ketika melihat obat penurun panas di dalamnya. Mimpi yang masih segar di otak Erisa, tentu membuatnya sadar bahwa obat ini adalah obat yang sama persis ia beli di mimpi itu.

Atau itu semua bukan mimpi?

Erisa menggelengkan kepalaya tak percaya, jika bukan mimpi lantas bagaimana Erisa bisa sampai kerumah dengan selamat?

Erisa menundukan kepalanya melihat pakaian yang ia kenakan, light brown high waist pants dan white  bodyfit tshirt. Baju yang sama, yang ia gunakan tadi malam.

Bukankah Nenek itu memberikan Erisa cermin dan jepit rambut? Erisa langsung bangun dari tempat tidur dan menggeledah seluruh isi kamarnya. Kalau semuanya mimpi seharusnya kedua benda itu tidak ada. Laci demi laci, sudut demi sudut. Nihil tidak ia temukan kedua benda itu.

Erisa menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya Kembali, ia menarik nafas lega. Sayangnya sebelum ia sempat mengucap syukur, dirinya teringat dengan jaket merah miliknya yang sama sekali belum ia periksa.

Tubuh Erisa berdiri tegak, melihat jaket merahnya tergantung rapih di belakang pintu. Langkah demi Langkah Erisa ambil hingga ia kini berdiri di depan jaketnya. Erisa menarik nafas panjang sebelum merogoh kantung jaket itu. Jantung Erisa berdetak dua kali lebih cepat saat tangannya menggenggam suatu yang keras. Erisa menarik benda itu perlahan keluar. Benar saja itu adalah cermin yang sama persis diberikan nenek itu.

Cermin oval dengan ukiran kayu di pinggirannya, gagang yang kokoh, cermin ini berat dan Erisa bisa merasakan bahwa ini bukan barang murah. Erisa membalikan tubuhnya menghadap jendela. Ia membalikan cermin itu dan dan melihat ukiran singa dan matahari yang begitu indah. Kenapa nenek itu mau memberikan barang sebagus ini pada Erisa untuk menikmati makanan yang bahkan harganya di bawah lima puluh ribu. Terlebih lagi apa yang ia lihat semalam, membuat Erisa harus berpikir seribu kali apakah ia harus menyimpan benda ini atau tidak. Bisa saja 'kan, nenek itu adalah orang yang mau menyantet keluarga Erisa melalui kedua benda yang ia berikan.

Kesampingkan hal itu, sekarang yang paling mengganggu Erisa bagaimana caranya ia sampai di rumah? Terlebih lagi tertidur nyaman di ranjangnya. Lalu, dimana Jelita? Semalam Erisa ingat betul, ia dan Josh memapah Jelita sampai ke mari. Entah bagaimana ia pulang, seharusnya Erisa tidak terbangun sendirian bukan?

Apakah Erisa mulai gila? Sepertinya iya, semenjak Arvan datang semua berjalan tak normal.

Krieeet

Pintu kamar Erisa terbuka perlahan.

Siapa yang membuka pintunya? Rambut-rambut halus ditubuh Erisa sudah berdiri tegak, bahkan jantungnya sudah memaksa untuk melompat keluar.  

Suara langkah kaki yang semakin mendekat, Erisa bisa merasakan sosok kehadiran seseorang di belakangnya. Erisa sama sekali tak berani menoleh kebelakang. Ia sampai menahan nafasnya, sangking takutnya untuk melihat hal-hak yang tak ia inginkan.

Dear MamaWhere stories live. Discover now