Hati (tak) Bertuan 11

208 37 7
                                    

Hollaaaaa...

Update nya aku rajiiiiiiiiiiinnnnn banget.

Semoga yang respon rajin juga yes..

In sha Allah ini akan aku jadikan double projek. Tapi masih dipikirin dulu. 😁😂🙆

Kalau beneran jadi double projek, akan ada versi tambahan tapi dipikirin dulu juga. 😂😝

Yang penting, pantengin terus yes guys...

Masalah projects, urusan nanti. 🤔😂

Sarang Hae

Im
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

***

Semangkuk sereal hangat telah tersaji diatas meja makan sejak tadi. Namun gadis itu masih tak juga menyentuh sarapannya yang akan menjadi modal utamanya untuk mengerjakan soal ulangan semesternya pagi ini.

"Ya Allah... Belum dimakan juga? Itu pasti sudah dingin." Ucap sang ibu saat kakinya sampai di undakan tangga paling bawah. Tangannya tengah sibuk membawa tas kerja dan beberapa tumpuk kertas yang sepertinya koreksian lembar jawab siswa. Sepertinya si ibu tengah sangat sibuk dengan pekerjaannya di sekolah. Tampak dari banyaknya barang yang ia bawa.

"Bentar, Bun. Masih tanggung." Ucap Mentari tak acuh. Matanya masih menelusuri barisan angka dan kata di buku LKS bersampul hijau botol dengan gambar penggaris dan jangkar serta beberapa rumus matematika di sampulnya.

"Nanti kamu telat, lho." Ucap kembali sang ibu yang mengambil duduk disampingnya di meja makan. Lalu sang ibu mulai menggigit setangkap roti yang telah ia olesi selai nanas. Kemudian ia meraih cangkir berisi teh yang masih hangat dan menyeruputnya.

"Jangan ngebut naik sepedanya. Selesai ujian langsung pulang istirahat. Bunda pulang agak telat. Ada rapat setelah ngawas ujian. Kamu mau titip apa buat nanti?" Bunga memberikan tangannya untuk disalami dan dicium Mentari yang telah siap dengan sepedanya setelah menyebutkan beberapa cemilan yang ingin ia makan nanti untuk teman nonton drama Korea sebagai hiburan setelah lima hari berkutat dengan soal ujian.

Setelah mengiyakan perkataan Bulan, Mentari berpamitan dan berucap salam. Lalu kakinya bekerja mengayuh sepeda keluar gerbang menjauh menuju sekolahnya.

Dan Bulan yang juga telah siap berangkat mulai melangkahkan kakinya menuju motor yang dibelikan Bhumi sebulan yang lalu.

Bhumi dengan keras kepalanya memaksa Bulan untuk belajar naik motor matic yang tak terlalu tinggi itu. Hal ini disebabkan oleh Bhumi yang merasa cemburu kepada pengemudi ojek yang ditumpangi Bulan sepulang dari pasar. Bulan yang membawa banyak belanjaan duduk dengan dibonceng ojek yang masih sangat muda. Bhumi yang saat itu tengah menyirami pohon palem dan pohon salam milik Bulan yang ada didepan rumah dipagi hari, mendapati Bulan turun dari ojek yang ditumpanginya. Bhumi merasa Bulan duduk terlalu dekat dengan pengemudi itu. Alhasil, Bhumi mendiamkan Bulan dan membuat Bulan dan Mentari merasa bingung seharian. Dan keesokan harinya, Bhumi membeli sebuah motor dan melatih Bulan naik motor hingga Bulan bisa mengendarainya sendiri.

Sebenarnya sekolah Bulan tidak jauh dari rumah. Tak sampai dua kilometer. Tetapi jika bulan menempuhnya dengan berjalan kaki tentu akan sangat jauh. Namun jika Bulan menempuhnya dengan naik angkutan umum, akan dapat ditempuh dengan sepuluh menit lebih. Tapi jika Bulan naik motor, maka dengan lima menit saja bisa sampai.

Setelah berpamitan dengan Bu Nurul yang datang saat dia bersiap berangkat, Bulan mulai melajukan motornya dengan perlahan. Dia mengambil rute di pinggir. Meskipun jalanan ini tak terlalu ramai, tapi sebagai pengendara baru, Bulan masih terhitung berlatih dan belum terlalu mahir. Jika dipikir-pikir, Mentari jauh lebih mahir mengendarainya daripada Bulan. Namun Bhumi tak mengijinkannya naik motor ke sekolah. Sebab umurnya masih lima belas tahun, tepatnya bulan lalu. Jadi, melarangnya mengendarai motor adalah keputusan yang bijak. Sebab Mentari belum bisa memiliki SIM.

Hati (Tak) Bertuan (On Going)Where stories live. Discover now