10. I can't move

398 62 4
                                    

.

.

.

Pagi yang damai. Matahari bersinar terang, kicauan burung membuat suasana menjadi lebih indah.

Jerry sedang membuat kue untuk sang putra. Ketika asyik mengadon tepung, tiba-tiba mood nya menghilang. Gonggongan anjing milik Mago terus bersahutan.

Aktivitasnya terhenti. Jerry berdecak kesal sembari membuang napas kasar. "Dasar Mago sinting. Dari sekian hewan, kenapa harus anjing? Gak bisa ular? Setidaknya gak bersuara."

Hingga kue itu selesai dibuat, dumelannya masih tetap berlanjut. "Ini juga, kaos kaki dimana-mana. Heran, nanti hilang nyalahin aku."

"Hadeh.. derita bapak rumah tangga."

Ia membuka kulkas, mengambil beberapa daging segar yang dibeli putranya. "Jangan, pa!" Baraji tiba-tiba menghentikannya.

"Ini buat anjing. Kalau mau, abang beliin lagi."

"Gak jadi. Itu kuenya dihabiskan. Kalau gak habis, papa gak mau bikin lagi!" Sepertinya mood Jerry belum juga kembali.

Blam!

Sang papa menghilang ditelan pintu.

"Untung papaku." Tangan besarnya mengusap dada sambil merapihkan kembali isi dapur. Sungguh anak yang berbakti, ya?

.

.

.

"Kerja bagus, Daw!"

Operasi kali ini berjalan sedikit kacau walau akhirnya berhasil. Mago hanya merespon rekannya dengan senyuman.

Setelah steril dari muncratan darah, pria yang sebentar lagi memiliki seorang putri melangkah pergi. Mungkin sedikit udara segar tidak buruk.

Ia duduk bersandar di bangku taman RS. Menatap orang yang berlalu lalang sambil memikirkan sesuatu.

Hal ini terus saja mengganggu pikirannya. Salah satu faktor yang membuat dirinya kehilangan fokus.

"Dokter!"

Seorang gadis kecil berlari menghampirinya. "Hati-hati! Jangan berlari, nanti jatuh." Mago tersenyum kecil.

"Kau sangat cantik, siapa namamu?"

Ia berjongkok didepan gadis kecil itu. "Cloud! Hihihi dokter sangat tampan!"

Yang dipuji terkekeh pelan. "Cloud? Awan?"

Cloud mengangguk bersemangat. "Kata mama, aku gak perlu takut dengan penyakitku. Aku pasti bisa sembuh! Tapi jika tidak, itu berarti Tuhan lebih menyayangiku Tuhan akan membuatku menjadi sebuah awan yang akan melindungi kalian semua dari panasnya matahari."

Mago tertegun. Betapa bersihnya hati gadis kecil ini. "Bukankah aku keren?" Sambung Cloud.

"Kamu pasti bisa sembuh. Dokter akan membuat penyakitmu takut dan pergi sejauh mungkin."

"Oh iya, sebentar lagi dokter akan memiliki seorang putri. Dokter harap dia akan secantik dan sebaik dirimu." Pria itu tersenyum kecil.

"Benarkah? Wahhh! Pasti akan sangat menggemaska–" Tiba-tiba suasana menjadi buruk. Gadis kecil itu kejang-kejang. Mago yang panik segera menggendongnya.

"Cloud.." Gumamnya pelan. Ia menarik salah satu perawat yang akan masuk ke kamar gadis itu. "Orangtua. Dimana orangtuanya?"

Perawat itu menunduk sedih. "Mereka tidak mau lagi mengunjunginya."

"Apa?"

"Mereka menyerah atas keadaan Cloud. Maaf dokter, saya harus masuk." Pria itu terdiam menatap kepergian sang perawat.

Kakinya berjalan pelan masuk ke dalam kamar itu. "Pukul 17:03, pasien Cloudy Ansan dinyatakan meninggal."

.

.

.

"Anjing-anjing ini kelaparan ternyata." Ia memberikan makanan yang langsung disantap rakus peliharaannya. Sedikit berjongkok sambil tersenyum.

"Lalu, anjingku yang ini juga lapar?"

Ia menatap anjing miliknya yang sedang terkulai lemas. Tertawa sinting dengan mata tanpa belas kasih.

Sebelum berdiri, ia berdehem sebentar. "Besok aja deh. Masih bisa bernapas, kan?" Anjingnya hanya menatap ia dengan mata berair.

"Harus kuat dong." Kaki panjangnya beranjak pergi meninggalkan kandang tersebut.

Anjing sakit itu menatap anjing lainnya yang tengah berebut makanan. Ia juga ingin. Tapi apa daya, kaki dan tangannya dirantai. Perutnya sangat pedih. Matanya memanas.

Ketika kesadarannya hampir hilang, pintu itu kembali terbuka. Tampaklah majikannya datang dengan membawa beberapa daging untuk ia makan.

"Bukankah aku baik? Aku memperlakukanmu dengan spesial karena kau sahabatku. Ah tidak, sekarang kau anjingku. Hahahah!"

Ia merasa puas melihat anjingnya memakan dengan lahap. Seolah makanan itu akan dirampas jika lengah sedikit saja.

"Pelan-pelan, nanti tersedak. Minum dulu."

Jari-jarinya mengusap kepala anjing itu. "Kau sungguh manis." Hampir saja jarinya digigit.

"Bangsat lo Ji! Setelah semua yang gue lakuin ke lo, begini lo balas gue!?"

Lelaki itu hanya tertawa keras melihat anjingnya protes. "Pantes lo gak punya teman. Cuma gue sama Cello yang tahan dengan kelakuan bajingan lo!"

Tawa itu perlahan menghilang. Baraji mendekat, menarik rahang peliharaannya.

"Lo tau apa? Lo gak tau apapun, Sura. Cukup diam dan makan, kalau masih mau hidup."

.

.

.

TBC.

RecordWhere stories live. Discover now