Cermin : Suara Surga

17 4 0
                                    

Karya: Dwimo
Editor: Adib La Tahzan

Keadaan Noval dari awal sudah memprihatinkan. Gangguan pendengarannya itu sudah tidak bisa lagi ditolong, hanya bisa berdoa agar tidak membuat batinnya terpuruk.

Pemuda itu menangis sejadi-jadinya di kamar. Si mbok yang sudah sekitar sepuluh menit berdiri di depan kamarnya hanya bisa mengerutkan dahi dan memohon agar dirinya mau makan. Tapi hal tersebut bisa dibilang sia-sia, ya karena Noval sudah tidak bisa lagi mendengar.

"Aku sudah tidak lagi pantas untuk hidup," lirihnya sendu di dalam hati. Air mata kini tidak lagi bisa membuat gejolak amarahnya mereda-bahkan semakin menjadi.

Kecelakaan besar itu menjadi sebuah tragedi paling mengerikan dalam sepanjang sejarah-kejadian buruk di Kota Singkawang. Di saat suasana menyenangkan itu berubah menjadi berdarah, Noval dan orang lain yang berada di sana juga tidak akan pernah menyangka hal tersebut. Belasan, bahkan puluhan nyawa melayang dalam tragedi tersebut, termasuk kedua orang tuanya.

Pupus sudah cita-citanya untuk membawa kedua orang tuanya pergi menunaikan ibadah haji. Tangannya yang masih diperban itu tremor tidak karuan. Hanya ada kecewa dan putus asa. Seharusnya mereka tidak pergi ke tempat itu. Tapi apa daya, takdir harus memisahkan mereka di dunia yang berbeda. Sejak umurnya yang sudah menginjak lima belas tahun itu, seharusnya dia tidak memaksa orang tuanya untuk menuruti keinginannya, cukup janji yang dia pegang untuk membawa mereka ke tanah suci.

"Kamu harus makan, Dek."

Mulut si mbok yang komat-kamit berbicara agar bisa berkomunikasi dengan Noval yang tuli itu tampak khawatir. Dirinya langsung berdiri, tidak ingin membuat si mbok lebih repot lagi.

*****

Siang itu langit tampak cerah. Belasan mobil lalu lalang di dalam pandangan Noval. Harusnya hari itu terdengar berisik, tapi karena sudah tidak mampu mendengar, dirinya hanya bisa tersenyum sambil melihat keramaian tersebut di kursi trotoar sampai seseorang menepuk pundaknya.

"Sudah makan?" tanya seorang wanita yang melambaikan tangan, membentuk beberapa simbol ke arah Noval.

"Sudah," balasnya ikut menari dengan tangannya.

Wanita itu keluar dari tempat kursus BISINDO sambil memutar sepasang roda di sampingnya. Noval sigap membantunya pindah dari gundukan di depan pintu. Mereka berdua tampak santai dalam diam, tidak sekali pun perasaan canggung menghampiri keduanya.

Sekarang keduanya berada di taman kota, tepat di depan kantor walikota yang sedang menyelenggarakan pesta rakyat. Dua pasang mata itu sangat jelas sedang memperhatikan kegiatan itu dari jauh, walaupun keduanya sadar tidak bisa menikmati pesta rakyat itu karena keterbatasan mereka.

"Kau yakin ingin melihat ini? Bukankah akan membuat traumamu kambuh?" tutur Ica sambil menggenggam tangan dingin pemuda itu.

Noval menggeleng, dia berpikir justru inilah yang menjadi penyembuh traumanya-jika dibiarkan justru akan membuatnya semakin terpuruk. Kejadian itulah yang membuat kedua orang tuanya harus meninggalkannya lebih awal dari yang seharusnya.

Pemuda itu menatap Ica dari samping, kemudian mengecup keningnya sambil tersenyum. Tubuhnya bangun dari tempat duduk, kemudian berjalan pelan sembari mendorong Ica dengan kursi rodanya. Kini wajah mereka berdua telah berpaling dari pesta rakyat yang meriah itu.
Di perjalanan, mereka menemukan sebuah mobil van besar yang menunggu tepat lima meter di depan. Berdiri dua orang berjas hitam, menunggu kedatangan keduanya.

"Nyonya harusnya menunggu di depan kantor. Kami susah payah mencari Anda barusan. Nyonya tahu, kan, besok harus berangkat ke Mekkah," omel salah satu pria terlihat mengeluarkan keringat dingin.
"Ah ... nggak apa, kok. Kan, ada suami yang jagain," jawab Ica sambil menempelkan tangan Noval di pipinya.

Ya, besok Noval dan istrinya akan melaksanakan ibadah haji di tanah suci, lebih tepatnya badal haji atas nama kedua orang tuanya yang sudah wafat.

Singkawang, 2022

Justify XII Sep 2022 | Will My Dreams Come True?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora