03. Cemburu?

123 70 63
                                    

SETELAH melaksanakan agenda upacara bendera merah putih di lapangan, seluruh murid SMA Lineuz membubarkan barisannya, pergi menuju kelas masing-masing.

Ailsie mengibaskan tangannya di depan wajah, keringat membasahi seluruh keningnya. Seragamnya kini sudah lepek. Rasanya ia ingin mengomel saja pada kepala sekolah yang selalu lama saat pidato.

"Kantin, yuk!"

Ailsie menggandeng lengan Vira, memasang raut memohon agar disetujui. Lantas Ailsie melebarkan senyumnya ketika Vira menyetujui permintaannya.

"Udah masuk!" seru Windya.

"Please deh, lo tuh nggak di ajak," sahut keduanya bersamaan.

"Cih! Menyebalkan."

Lantas Windya berlalu menuju kelas di lantai tiga dengan kaki yang sengaja ia hentak-hentakkan. Ailsie dan Vira tergelak di tempatnya. Keduanya berjalan beriringan menuju kantin, tanpa memedulikan tatapan mata dari murid-murid lainnya yang penasaran.

Suasana kantin cukup ramai, memang setelah upacara seluruh kelas diberi jeda beberapa menit untuk masuk jam pertama. Ailsie pergi membeli nasi uduk, sementara Vira membeli minum.

Saat matanya menjelajahi setiap makanan yang di jual, Ailsie tidak sengaja menangkap sosok Rendra sedang makan di bangku belakang. Kakinya hendak menyusul, tapi saat namanya di panggil oleh ibu kantin ia menghentikan langkah kakinya.

"Jadi berapa, Bu?" tanya Ailsie.

"20 ribu."

Ailsie mengeluarkan selembar kertas berwarna hijau dari saku bajunya. Sesudah membayar ia kembali berjalan menghampiri Rendra, niatnya memang seperti itu. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti kala melihat sosok perempuan duduk di samping Rendra.

"Lusi?"

Lusi, teman sekelasnya. Dia memang dekat dengan Rendra. Lusi itu pintar, cantik, tutur katanya lemah lembut, dia juga mempunyai keturunan Cina dan Amerika. Sepertinya Ailsie memang harus mundur.

"Woy!"

Ailsie terperanjat mendengar sapaan tak ramah bintang satu dari Vira. "Nggak usah ngagetin, ini masih pagi!"

"Jangan cemburu, Ai," kekeh Vira.

"Siapa yang cemburu?"

"Yang nanya."

Vira berjalan keluar area kantin, membiarkan Ailsie yang masih berdiri tak berkutik menatap dua insan yang sedang asik mengobrol.

Rasanya Ailsie ingin menghampiri keduanya, menanyakan hal apa yang sedang mereka bicarakan, atau sekedar menyapa seperti biasanya. Namun kedua kakinya menolak, memilih pergi dari sana. Ia tidak mau terluka.

Suara guru yang sedang menerangkan terdengar di indera pendengarannya saat sampai di depan kelas. Ailsie mengetuk pintu, mengucapkan salam, dan duduk di samping Windya.

"Kampret lo ninggalin gue!" Ailsie melirik tajam ke arah Vira.

"Lagian lo lama."

"Ngapain aja emang?" tanya Windya penasaran.

"Ngeliat mas crush sama cewek lain," bisik Vira.

"Siapa, tuh?" tanya Aldo, teman sebangku Vira.

"Kepo!" ketus Vira.

Ailsie menulikan telinganya, memilih memperhatikan Pak Setyo yang menerangkan materi tentang resensi novel. Ailsie yakin seratus persen Pak Setyo akan memberikan tugas meresensi novel.

"Setelah ini kalian akan membuat resensi novel, temanya bebas, boleh percintaan, horor, dan lainnya. Saya kasih waktu tiga minggu, dua minggu untuk baca, satu minggu bikin resensinya."

Jangan MenunggunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang