09. Senam Irama

101 66 38
                                    

AILSIE menoleh ke samping, memerhatikan Adrian yang tengah menyetir. Ayahnya mengantarnya sekolah, karena ingin ke cabang perusahaannya yang ada di Jakarta. Memang jauh dari sekolahnya, tapi searah dengan sekolahnya.

"Besok ayah sudah balik lagi ke Perancis." Adrian masih fokus menatap jalanan.

"Bunda bilang nilai kamu turun, kenapa?"

"Lagi nggak fokus, Yah."

"Tingkatkan. Persiapkan untuk kuliah kamu," ucap Adrian.

"Iya, Yah."

Selama perjalanan ke sekolah, Ailsie hanya terdiam seraya menatap ujung sepatunya dengan pikiran berkecamuk yang berkepanjangan. Entah sampai kapan berada di garis akhir, yang pasti Ailsie ingin semuanya selesai secepatnya.

Selalu ada tuntutan di setiap langkahnya, seperti ada besi besar yang merantai kedua kakinya, seperti dikejar-kejar anjing dan mencari tempat persembunyian untuk membuatnya aman.

Ailsie tidak tahu, kapan dan bagaimana cara agar berhenti berlari, karena prosesnya pasti selalu berbeda dengan proses orang lain. Ia selalu merasa kecil ketika melihat orang-orang yang pintar, yang lebih dulu mencapai garis finis. Sekeras apapun langkahnya menyejajarkan langkah mereka, ia tidak akan bisa.

Tuntutan kedua orang tuanya cukup membuatnya takut setengah mati. Jika jalan yang akan ia lewati nanti gagal, mereka pasti marah besar, tanpa mau tahu perjuangan seperti apa yang sudah ia lakukan, dan tanpa mau tahu caranya untuk mengulurkan tangan ketika ia terjatuh. Orang-orang hanya ingin melihat hasil akhirnya, tanpa mau lihat bagaimana perjuangannya.

Di sepanjang koridor, Ailsie hanya menatap ke bawah. Tidak seperti Vira, saat gadis itu lewat maka orang-orang akan menyapanya penuh senyum. Sampai kelas pun tidak ada yang menyapa Ailsie kecuali kedua sahabatnya.

"Hai, bestai!" sapa Vira.

"Ada anak baru?" tanya Ailsie, mengabaikan sapaan Vira.

"Iya, baru masuk tahun lalu."

"Bodo."

Selagi menunggu bel masuk berbunyi, Ailsie menonton video senam yang akan ia tampilkan nanti bersama anggota kelompok yang lainnya. Pelajaran pertama adalah olahraga, materinya senam irama, awalnya seluruh murid membuat video senam irama, lalu ketika sudah dibuatkan kelompok, masing-masing kelompok harus memilih salah satunya, dan ditampilkan.

"Lo udah apal?" tanya Windya.

"Udah."

"Aduh, gue belum lagi."

Windya mengacak-acak rambutnya frustasi. Dari kemarin-kemarin ia mencoba menghapal gerakannya, namun tak kunjung hapal. Ia jadi kesal sendiri, yang membuatnya lebih kesal adalah banyaknya gerakan lompatan.

"Eh, Aldo kemana?" tanya Vira.

"Katanya telat," jawab Ailsie.

"Duh, mana dia sekelompok sama gue lagi. Awas aja nggak masuk, bakal gue cincang!"

Tepat ketika bel bunyi, hujan malah datang dengan derasnya. Sebagian siswa bersorak gembira, karena pikirnya tidak akan jadi pengambilan nilai senam irama, tapi saat ada pesan masuk dari Bu Linda di grup khusus PJOK, semua siswa justru bersorak tidak setuju.

"YANG BENER AJA DI DEPAN KELAS?!"

"AYO GUYS, KITA DEMO!"

"GUE NGGAK MAU ANJIR."

"Mending di lapangan sumpah!"

Saat Bu Linda datang, semuanya justru terdiam, tidak ada yang bersuara. Ketidaksetujuan tadi mereka telan rapat-rapat, sampai kerongkongan mereka rasanya tercekat, bimbang antara menyuarakan pendapat mereka atau tidak.

Jangan MenunggunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang