#1

21 3 0
                                    

Desa di Hutan
Hallauth

Halo, namaku Syuu. Aku adalah seorang petualang. Apa yang aku cari sebagai seorang petualang? Suasana dan perasaan yang berbeda dimiliki tiap tempat di semesta ini. Aku tidak bisa menahan rasa candu di dalam benakku. (Beruntungnya aku yang mempunyai waktu dan kemampuan untuk memenuhi hasrat itu.)

Tidak secara spesifik membuat daftar tempat, aku hanya spontan menemukan lokasi yang ingin dikunjungi. Entah dari sebuah pembicaraan, gambar, atau ketika aku tanpa sengaja melewatinya. Itu juga menjadi alasan mengapa aku bisa cukup lama berada di suatu negeri. Setiap sudut tempat hampir selalu membuatku penasaran!

Itulah bagaimana aku bisa menemukan tempat ini. Ketika itu aku tengah menjelajahi hutan di sebuah negeri di luar Maya. Malam hari, aku masih belum pergi karena ingin merasakan bagaimana rasanya melewati malam di hutan itu. Apalagi, aku bisa memandangi bintang kalau-kalau langit cerah. (Aku sangat suka melihat bintang.)

Dari kejauhan, —yang tidak jauh-jauh amat juga, aku melihat sekelompok cahaya berwarna seperti sinar bulan. Padahal, seingatku tidak ada kota di dekat-dekat sini. Cahayanya juga tidak terlihat seperti lampu rumah-rumah di kota.

Aku memutuskan untuk mendekat ke arah sumber cahaya itu. Ketika sampai, aku sungguh terkejut karena cahaya yang aku lihat berasal dari atas pohon-pohon. Satu lagi : aku menemukan pemukiman, di tempat itu. Rumah-rumah di desa itu kelihatannya terbuat dari berbagai ranting dan dedaunan kering.

Aku mengalihkan pandangan ke arah cahaya-cahaya di atas sana. Toh, ini sudah tengah malam. Tidak akan ada yang menyadari kedatanganku, kan?

Tiba-tiba seseorang menyapaku. Aku mungkin tidak akan bisa menyadari kehadirannya jika ia tidak bersuara. Seorang pria membawa pedang yang masih penuh noda darah di bilahnya. Meski begitu, aku tidak merasakan ancaman darinya. Tangan kirinya merangkul gadis kecil yang hanya terdiam kala melihatku. Yah … memang apa yang bisa diucapkan oleh anak kecil? Pria itu mengatakan bahwa tidak ada yang boleh masuk ke desa itu selama jam malam.

"Jika tidak ada kondisi darurat, tidak bisa." Orang itu berucap, ketika aku meminta izin untuk bermalam di tempat itu. Meski menyatakan sebuah negasi, tapi wajahnya tetap tersenyum ramah. Matanya bahkan menyipit dan berkerut, membuatku yakin bahwa itu senyuman yang tulus.

"Tapi, aku adalah seorang wanita." Dia tidak mungkin mengabaikan seorang wanita sendirian di tengah hutan. Awalnya aku pikir begitu. Sayangnya dugaanku salah. Orang itu tetap menolak. Lagi-lagi dengan lengkungan ramah di wajahnya.

"Bagaimana kalau aku bayar?"

Ia menggeleng.

"Aku bisa memberi kalian daging buruan, kalau kau mengijinkanku—" Aku terus mencoba untuk menawar. Bahkan aku menyebutkan bagaimana berbahayanya jika seorang wanita di hutan sendirian. Tapi hasilnya nihil.

"Kau bisa kembali lagi besok pagi, Nona."

Paginya aku kembali lagi ke tempat itu. Orang semalam menyambutku dengan keramahan yang sama seperti saat pertama kali bertemu. Kami berkenalan sebelum Ia memanduku untuk berkeliling desa.

Kini, semuanya terlihat lebih jelas bagiku.

Sumber cahaya yang aku lihat tadi malam, adalah bunga dari pohon yang warga sekitar sebut sebagai pohon bintang. Pohon bintang mirip seperti pohon kelapa, namun dengan daun beruas sirip majemuk.

Pohon bintang. Aku tidak merasa itu salah, karena saat masih kuncup, bunga dari pohon ini memiliki sudut kelopak yang membuatnya terlihat seperti bintang. Mekarnya pun hanya sedikit di bagian pucuknya. jadi, bentuk bintang masih bertahan. Oh iya, ukurannya kira-kira sebesar kepala manusia.

Aku diberi satu bunga sebagai kenang-kenangan. Awalnya aku berniat untuk menanam bibitnya di rumahku, tapi Lerio bilang bahwa tanaman itu tidak bisa tumbuh dan berbunga di tempat lain.

Ketika kami berjalan melewati tengah desa, tampak bekas pembakaran di sana. Aku tidak terlalu tertarik hingga aku sadar ada sisa-sisa tulang manusia di sana. Aku tahu betul! Tidak mungkin aku salah. Tapi kenapa? Apa mereka kanibal atau semacamnya?

Struktur dan susunan tulangnya masih normal. Bentuk abu nya juga mengindikasikan bahwa orang itu dibakar dalam kondisi utuh. Tidak ada mutilasi atau semacamnya.

Tak berapa lama, tiga orang datang dengan membawa sapu dan beberapa alat lain. Mereka tidak terlihat berusaha menyembunyikan hal itu kepadaku. Dengan santainya beberapa orang mulai membersihkan tempat itu secara terang-terangan. Lerio (pemanduku) bahkan memberitahuku untuk menjaga hidung dan mata dari debunya.

"Apakah itu adalah semacam prosesi pemakaman?" tanyaku penasaran.

Lerio mengangguk. Ia juga menjelaskan, bahwa itu adalah tradisi dan aturan di desanya. Jika seseorang meninggal di desa ini, maka orang itu akan disemayamkan di sini. "Termasuk dirimu, nona Syuu."

"Hahaha." Meski tertawa, sejujurnya aku merasa pundakku merinding sesaat. Lebih tepatnya, bergidik.

Aku tidak ingin mati di tempat ini.

Karena aku menunjukkan minat terhadap kegiatan itu, Lerio pun mengajakku untuk ikut menyaksikan prosesi selanjutnya. Aku juga penasaran dimana mereka akan menyimpan abu hasil 'kremasi' barusan.

Aku sedikit bertanya-tanya ketika mereka justru berjalan di sebuah tanah lapang. Berbagai macam bunga bermekaran. Aku mulai berpikir bahwa mungkin abunya akan dikubur di tempat itu.

Mereka berhenti di tengah-tengah padang bunga itu. Aku tidak tahu apa yang mereka tunggu. Sebuah tongkat dengan pita tipis panjang dinaikkan ke udara.

"Mereka menunggu angin tenang." Lerio berbisik, seakan tahu bahwa mungkin aku akan bertanya-tanya soal itu.

Ketika pita sudah tidak melambai-lambai oleh angin, kotak berisi abu dibuka. Yang tidak aku mengerti adalah : abunya dibuang begitu saja. Bukan di laut, sungai, atau dikubur. Hanya ditabur seperti pupuk.

Dan aku juga baru sadar ketika tengah berjalan kembali ke desa. Tidak ada yang terlihat berkabung, diantara orang-orang yang melakukan prosesi itu.

Karena aku penasaran, aku langsung bertanya pada Lerio. "Bukan bermaksud apa-apa. Maaf karena rasa ingin tahuku sangat besar."

Lerio tertawa dan mengatakan bahwa itu tidak masalah. Ia justru senang jika pengunjung ingin lebih memahami tentang desa mereka.

"Bukannya tidak berkabung. Tapi, tidak ada yang berkabung untuknya. Dia adalah penyusup jahat yang aku tangkap semalam."

"Ooh …." Aku berusaha membuat reaksi senormal mungkin meski tahu bahwa aku bisa saja bernasib sama seperti orang itu. Untung saja aku orang baik-baik.

"Jadi, dia ditabur di tempat itu karena dia penjahat?" Aku bertanya lagi. Aku menghentikan langkah karena Lerio berhenti.

Ketika aku menoleh ke arahnya, tampak Lerio menggeleng. Matanya fokus ke tanah. Pria itu tampak membungkuk dengan ranting kecil di tangannya. Ia kemudian mengangkat seekor cacing dari tengah jalan setapak yang kami lewati, dan memindahkannya ke tepian.

"Siapapun yang meninggal, abunya akan di taburkan ke tanah untuk menjadi pupuk.".

Jadi … benar benar digunakan untuk pupuk?

Kok bisa?

Itu pertanyaanku di dalam hati.

"Kami hidup bersama alam." Lerio berucap sambil mendongak dan tersenyum.

Aku tidak berani mengatakan bahwa tradisi mereka sedikit ekstrim, bagiku. Aku hanya bisa menghargainya karena tidak melihat ada pelanggaran di sana.

Itulah salah satu lokasi eksotis yang terpikirkan ketika aku melihat tema buletin minggu ini. Mungkin perlu waktu lama untuk memahami dan mengenal seluk beluk alam, sosial, dan budaya di desa tersebut.

Banyak juga pertanyaan yang belum terjawab secara gamblang.  Aku bisa saja tinggal demi mendapat jawaban, tapi jiwa petualanganku meminta untuk melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat selanjutnya.

Tempat itu masih sangat berkesan bagiku. Pemandangannya, suasananya, tradisinya, dan tidak lupa, pohon bintang yang bunganya masih aku simpan di lemari kaca milikku. Meski sudah tidak bercahaya lagi, tapi itu tetap berharga bagiku.

Buletin AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang