16. Semenjak Kepergian Dirgantara

178 11 2
                                    

Hai semuanyaa, enaknya gue panggil kalian apa nih?

Gue mau jelasin sedikit ya...

Mengapa Dirgantara itu gantung?
-Cerita Dirgantara ini adalah novelet, dimana waktu itu gue ikut kelas menulis 1 bulan, dan targetnya 1 bulan harus udah end sampe 15k kata. Jadi, gue buat bab 15 aja deh.

Tapi, karena kalian semua minta lanjut. Hari ini gue lanjutin cerita ini, sampe bener-bener end😭

Kalian, maunya sad ending atau happy?

Langsung aja baca yaa, absen dong harapan kalian untuk Dirgantara selanjutnya gimana? 😭

KOMEN TIAP PARAGRAF DONG😭

Eh, btw gue ganti ya judulnya, setelah gue pikir-pikir ceritanya itu si Dirga lebih nyakitin Gladista nggak sih? Jadi di ganti deh, yang awalnya DIRGANTARA sekarang jadi MAAF, GLADISTA...

•••••

"Kita semua tahu, setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Namun, percayalah! Tuhan punya rencana yang baik untuk kita semua, meskipun kita pernah tidak menyukai takdir yang sudah Tuhan tentukan pada kita."

-MAAF GLADISTA-

°°°°°


Beberapa bulan kemudian....

Tempat tinggalnya kini tidak semewah dulu, kamarnya tidak seluas seperti taman, bahkan tempat duduknya pun merasa tidak nyaman, karena begitu keras yang terbuat dari kayu, tanpa ada lapisan sedikit pun.

Gladista menatap meja itu sangat kosong, tanpa ada beberapa makanan yang biasanya sudah tersedia di meja. Jam dinding masih menunjukkan pukul enam pagi. Gladista yang biasanya masih tidur, sekarang telah bangun lebih cepat, lantaran kasur yang ia pakai, tidak nyaman.

"Dis, nggak ada makanan ya? Maafin Bunda, ya." Gladista yang masih menatap kosong ke arah meja kini menoleh sebentar, setelah mendapati Rina—ibunya yang sudah berdiri di samping Gladista.

"Bun, gimana kalo kita pagi ini, bantuin orang? Nanti, jatahnya di ganti sama makanan. Biar kita bisa makan." Rina yang tahu maksud anaknya ini mengelus lembut rambutnya.

"Biar Bunda aja yang cari makanan, yaa. Kamu tunggu sini aja, kalo Ayah udah bangun, nanti kamu buatin teh ya. Kebetulan masih ada air di dapur, dan tehnya semalem juga udah ibu beli." Jelas Rina membuat Gladista merasa iba.

"Bunda, emang ada uang?" tanyanya memastikan. Karena setahu Gladista bundanya itu, hanya menyimpan uang simpanan saja, itupun sedikit, tidak banyak.

"Ada kok, tenang aja ya. Ya udah, Bunda pergi dulu, mau beli makanan." Wanita kepala tiga itu mulai pergi dari hadapan Gladista, mencoba tersenyum, tapi nyatanya mereka sedang terkena musibah.

Gladista yang mencoba ingin pergi ke dapur, melihat abangnya yang baru saja keluar dari kamar tidurnya. Lelaki itu berhenti mengucek matanya setelah berpapasan dengan Gladista.

"Bang Ar, udah bangun ya, kita buat teh yuk Bang, terus kita minum sama-sama." Kata Gladista membuat abangya mentap datar.

Mana rasa perhatian yang abangnya selalu berikan pada Gladista?

"Lo aja sana! Gue masih ngantuk."

"Bang, kalo udah bangun, gak boleh tidur lagi."

"Pergi ke dapur, atau gue bentak lo sekarang juga!!" bisiknya. Gladista yang mendengar ucapan itu pun, sontak menatap abangnya dengan rasa kebencian. Namun, pagi hari ini juga, ia harus menahannya. Jangan sampai, masih pagi, sudah ada keributan.

MAAF, GLADISTA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang