✨36. Tertutup Bukan Berarti Terlindungi ✨

470 75 4
                                    

Setelah minggu lalu aku dan Langit menginap di rumah bunda, minggu ini giliran kami bermalam di rumah Ayah dan Ibu. Aku mulai mengatur jadwal agar adil. Bagaimanapun, aku dan Langit masih sama-sama memiliki orang tua.

Minggu kemarin adalah pertama kalinya kami di tempat Bunda. Aku sampai menyusun rencana supaya kami sering menghabiskan waktu bertiga. Mulai dari makan malam di luar, jalan-jalan cuci mata di mall, hingga menonton di bioskop.

Paginya kami merecoki dapur dengan membuat sarapan. Bi Muna dan Nathan saja sampai keheranan melihat kami yang membuat dapur hampir seperti kapal pecah. Penyebabnya adalah karena Langit dan Bunda sama-sama tidak lihai memasak, tapi aku membebani mereka dengan pekerjaan yang terlalu susah.

Mulanya tampak jelas kalau Langit dan Bunda merasa kurang nyaman. Tapi lambat laun keduanya justru tak terlihat canggung.

Mulai dari malu-malu untuk sekadar mengobrol ringan seputar keseharian. Hingga akhirnya perlahan mencoba saling mengakrabkan diri. Tak jarang aku menciptakan momen yang membuat keduanya menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Seperti tiba-tiba izin ke toilet atau dengan dalih mengangkat telepon dari orang tuaku.

Ikatan darah memang tak bisa dikalahkan oleh apapun. Meskipun belum sehangat yang aku harapkan, tapi aku yakin kalau saat itu akan datang. Tinggal menunggu waktu saja. Bagaimana pun mereka adalah ibu dan anak. Masa-masa indah yang sudah lama berlalu pasti akan kembali terulang.

Kelak, aku yakin dan percaya kalau hubungan keduanya bisa lebih dekat. Bukan bak orang asing yang enggan bertegur sapa, tapi layaknya keluarga yang selalu menaruh perhatian.

Bunda juga tak pernah menyinggung rencana pernikahannya dengan Om Danu di hadapan Langit karena tau anaknya tak suka dengan pembahasan tersebut. Tapi Bunda selalu menceritakan semuanya padaku.

Ketika tahu mengenai tanggal pastinya, aku jadi berdebar. Tak sampai sebulan lagi, Bunda akan dipersunting oleh Om Danu. Undangan bakal siap dalam waktu dekat dan akan segera dibagikan. Aku masih sangat berharap kalau ada keajaiban menjelang pernikahan itu tiba.

Jika aku mengharapkan Om Danu berubah dalam waktu singkat, agaknya terlalu mustahil. Sebab tabiat seorang manusia sangat susah dihilangkan. Butuh proses yang tak mudah dan waktu yang agak lama.

Bahkan kadang ada saat dimana perilaku menyimpang itu akan kembali muncul sewaktu-waktu. Tak ada yang bisa memprediksi kapan seseorang benar-benar berubah.

Maka dari itu perubahan yang aku harapkan bukan dari Om Danu, melainkan Bunda. Setiap hari demi hari yang berlalu, aku selalu berdoa yang terbaik untuk mertuaku itu. Kuharap Tuhan menunjukkan keajaibanNya yang nyata.

Apapun yang terjadi nantinya, aku akan mengikhlaskannya. Aku sudah memainkan peranku, sekarang giliran Tuhan menciptakan ketidakmungkinan yang tak pernah terpikirkan oleh siapapun.

"Tadi Ibu kamu bilang mau ke rumah sakit, antar Ayah kamu berobat."

Bagai disambar petir di siang bolong, sebuah jawaban berhasil menghujam keras jantungku.

"Kamu nggak tau jadwal kontrolnya? Bukannya beberapa bulan belakangan Ayah kamu memang rutin ke dokter?"

Sebenarnya esok hari aku baru datang ke rumah Ayah dan Ibu. Tapi karena bosan, aku tiba-tiba ingin mampir. Sekalian membawakan hasil kerjaku di dapur, berupa kue kering yang resepnya baru aku temukan di internet.

Namun ketika berkunjung ke rumah orang tuaku, kudapati kondisi rumah kosong. Padahal biasanya kalau hari Jum'at Ibu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Tapi ternyata berita inilah yang aku dapatkan dari salah satu tetanggaku.

Setauku Ayah tak mengidap suatu penyakit yang mengharuskan untuk kontrol berkelanjutan. Terakhir kali ayah ke rumah sakit saat aku KKN tempo hari. Setelah itu ayah tampak baik-baik saja dan tak pernah mengeluhkan apapun. Luka Ayah juga sudah sembuh.

Langit Senja (Update Setelah Revisi)Where stories live. Discover now