Langit Menghitam

143 87 27
                                    

Persimpangan jalan ....

Kendaraan beroda dua yang dikendarai Rarendra melesat cepat di jalanan kota yang tak terlalu padat oleh kendaraan lain, kondisinya cukup senggang untuk Rarendra menambah kecepatan. Di balik helm hitamnya, Rarendra mengawasi jalanan, memperhatikan setiap plakat berwarna hijau yang terpasang sembari mencari nama jalan yang tertera pada alamat yang ia dapatkan dari Delisya. sesuai janjinya, ia berusaha untuk sampai dimana Delisya berada tepat saat waktu sarapan tiba. Bahkan Rarendra harus meliuk-liuk diantara kendaraan beroda empat yang tak mau dikalahkan kecepatannya, ia begitu menguasai jalanan kali ini.

Tepat di tepi trotoar dengan tiang lampu jalan di sebelahnya Rarendra menghentikan laju kendaraan Ducati-nya itu untuk sekedar melihat kembali arah yang GPS berikan untuk sampai di villa tempat singgah Delisya. Setelahnya, Rarendra pun melanjutkan perjalanan hingga kini ia telah meninggalkan jalanan kota penuh polusi yang digantikan oleh jalanan tak rata setelah tikungan pertama yang ia ambil. Pepohonan rimbun dikedua sisinya meminta Rarendra untuk memperlambat laju kendaraannya, hawa sejuk di pagi hari yang berembun begitu kentara, sia-sia jika tidak menikmatinya. Dari rongga-rongga dedaunan sinar sang surya menembus dengan redup, ia hadir dengan malu-malu.

Melihat hanya ia yang melintas di jalanan panjang ini, Rarendra memberanikan diri untuk membuka gadget dengan motornya yang masih melaju pelan. Dibukanya lagi aplikasi penunjuk arah, mencari tahu titik dimana ia berada dan seberapa lama lagi untuknya sampai di villa. Layar gadgetnya menampilkan garis-garis lintasan perjalanan Rarendra, juga titik yang menunjukan posisinya, hingga suara operator GPS menunjukkan  sebuah persimpangan jalan yang tak lama lagi akan ia temui. Mendengar itu ia tersenyum singkat karena Rarendra tahu jika ia akan segera sampai, sesuai dengan janjinya.

Namun, tepat sebelum persimpangan jalan yang akan ia lalui, layar handphone milik Rarendra seketika mati tanpa ia tahu penyebabnya. Hal. Itu membuat Rarendra harus berhenti dan menepi. Ia menekan beberapa kali layar benda pipinya itu juga tombol power di sisi samping, akan tetapi itu semua tak membuahkan hasil. Layar hitam itu tak kunjung menyala.

"Ada apa sih sama handphone gua? " gerutu Rarendra dengan kaca helmnya yang terbuka. "Perasaan udah gua cass semaleman. "

Laki-laki itu begitu kebingungan harus mengambil persimpangan jalan yang mana untuk melanjutkan langkahnya setelah apa yang terjadi pada handphone miliknya. Rarendra melepas helm hitamnya itu karena hawa pengap yang ia rasakan. Rambut hitam pekatnya yang kusut tak lupa ia rapikan sesaat setelah helm itu lepas dari kepalanya.

"Gimana nih? " Rarendra sesekali mencoba hal yang sama pada handphone nya, tapi semuanya tetap sama seperti sebelumnya.

Rarendra menyisir jalanan sepi tanpa siapa pun yang melintas, berharap ada seseorang yang dapat ia tanya sebagai petunjuk arah. Sampai ia mendapati seorang lelaki paruh baya pemilik rambut putih di seluruh bagian kepala juga jenggotnya yang ia berjalan membungkuk karena beban dalam pikulannya. Melihat hal itu Rarendra bergegas menuruni motor dan berlari kecil menghampiri sang kakek itu di sisi jalan.

"Kek ... kakek ..., " panggil Rarendra yang di susul dengan langkah kaki kakek itu yang berhenti.

"Maaf kek, saya ingin tanya, " Rarendra langsung pada inti pembicaraan. "Jalan Yatmo Kinasih itu sebelah mana ya, Kek? " tanyanya.

Bukannya menjawab kakek itu malah berucap juga dengan pertanyaan. "Mau apa kamu ke sana? "

"Saya ingin menemui temen saya, dia menginap di villa Mangkuaji, Kek, " jelas Rarendra.

TABIR ILUSI ( Telah Terbit ) Where stories live. Discover now