Permainan

76 46 2
                                    

Bimo masih dikuasai oleh amarahnya pada Aryo yang menjadi tamu di ruang utama villa beberapa waktu lalu, Indira pun turut serta menaruh kekesalan pada setiap kalimat yang pria paruh baya itu lontarkan, tanpa ada alasan yang jelas ia mengusir keluarganya. Meskipun Aryo tak lagi berada di tengah mereka sejak tindakan Rarendra yang meminta dengan hormat kepergiannya,  kobaran api amarah masih tetap membubung tinggi dalam ruangan dengan minim cahaya itu.

Waktu berlalu cukup cepat hari ini, langit perlahan mulai gelap bersama sang pemimpinnya yang bersinar paling terang datang ditemani oleh para pengikutnya yang berkelip indah menghiasi semesta, tak sedikitpun terlihat gumpalan awan hitam di sana.

Di antara kedua bilik kamar, Rarendra bersama Delisya duduk bersandar pada dinding yang sama beralaskan dasar kayu pada lantai dua villa. Delisya yang mengenakan pakaian seperti biasa dengan celana jins pendek yang dilipat tinggi serta kaos oblong, ia duduk memeluk kedua lutut kakinya yang memperlihatkan kulit bersih nan halus. Sedangkan Rarendra di sebelahnya lebih memilih celana jins berwarna abu-abu pudar keputihan yang menutupi sepasang kaki jenjangnya yang terulur sebelah dengan kaki kanan yang ia tekuk.

"Apa yang lo rasain selama ada di villa ini bareng keluarga lo, Sya? " dengan melirik ke arah Delisya di sebelahnya Rarendra melontarkan pertanyaan.

"Hmmm ..., " tanpa menatap Rarendra ia menjawab. "Gua ngerasa bahagia banget selama gua di sini kumpul bareng keluarga. Di villa ini, gua bisa ngerasain apa yang pengen banget gua rasain, apa yang selama ini hilang dari hidup gua, pelukan dan kehangatan dari bokap dan nyokap gua, " tutur Delisya.

Rarendra hanya diam memperhatikan Delisya mengungkapkan jawaban yang datang dari dalam hatinya. Tatapannya begitu mengartikan bagaimana kondisinya selama ini di dalam rumah tanpa kehangatan.

"Dan kebahagiaan gua bertambah, " Delisya menghentikan kalimatnya, mengalihkan pandangan pada Rarendra sembari tersenyum. "Karena lo yang juga hadir, ada di sini, " sorot mata keduanya saling bertemu dalam pengucapan Delisya.

Kalimat terakhir yang Delisya ucapkan itu cukup membuat Rarendra berhenti bernafas untuk beberapa saat, bahkan jantungnya terasa sesat berhenti untuk berdetak, ia begitu tercengang saat mendengar perkataan Delisya.

"Benarkah? "

"He em ... gua sangat bersyukur waktu gua tau lo bakal nyusul ke sini, " ungkap Delisya bersamaan dengan teks pada halaman pesan yang ia terima dari Rarendra muncul dalam benaknya 'Ya udah, gua nyusul ke sana besok'. "Kalau lo gak nyusul, gua bakal gak ada temen di sini, " lanjutnya kembali tersenyum pada Rarendra.

'Temen' ya teman, hanya sebagai dan sebatas teman kehadiran Rarendra dalam hidup Delisya selama ini. Kata terakhir yang Delisya ucapkan masih melayang bebas dalam benak Rarendra dan untuk sekali lagi harapan Rarendra harus pupus saat itu pula. Namun berbeda dengan isi hatinya yang patah, raut wajahnya masih saja mengguratkan senyuman lebar pada Delisya.

'Tapi gua udah cukup bahagia, karena gua bisa menghibur dan buat lo tersenyum. ' tutur batinnya.

"Baguslah kalau begitu, " sahut Rarendra. "Gak terlalu sia-sia banget gua ada di sini hahaha ..., " tukasnya, disusul dengan tawa yang mengundang Delisya juga ikut terkekeh.

Tawa Delisya begitu lepas hingga membuat pandangannya tak terarah, ia membawa bola matanya ke segala arah dalam tawanya. Di sampingnya, perlahan tawa Rarendra lenyap, ia beralih menatap lekat Delisya yang masih tenggelam dalam tawa lepasnya.

'Seandainya lo tau Delisya, gimana perasaan ini hadir karena lo. ' batin Rarendra dengan terus menatap Delisya.

Hingga semuanya buyar, tawa Delisya yang lenyap, fokus Rarendra yang teralihkan, hal itu terjadi karena mendapati sekelebat sosok tak diketahui yang melintas melewati ruang utama menuju arah dapur.

TABIR ILUSI ( Telah Terbit ) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora