20- Hal yang Harus Lepas

74 17 1
                                    

Bukankah hal yang membuat hati terluka harus segera dilepaskan?

***

Nara melangkah ringan dengan tangan memeluk sebuah buku paket. Kebetulan tadi Bu Juni, guru bahasa Indonesianya meminta Nara mengambilkan buku yang tertinggal di ruang guru.

Sesekali gadis itu bersenandung pelan mengisi keheningan koridor. Suara Nara memang tidak sebagus Lala dan Rana. Buktinya ia tidak lolos saat seleksi anggota paduan suara, tapi menyanyi adalah salah satu hobinya, selain menulis dan memperhatikan Aidan.

Langkah Nara terhenti melihat seseorang yang berdiri beberapa meter darinya. Sosok itu belum menyadari keberadaannya, tepatnya belum. Namun, Nara yakin sebentar lagi lelaki itu akan menengok ke arahnya.

Dan ... gotcha!

Tebakannya tidak meleset. Ia menahan napas lalu kembali melangkah, berusaha mengabaikan sosok yang sedang duduk di depan kelas bertemankan buku paket dan buku tulisnya. Lelaki itu pasti tidak mengerjakan tugas rumahnya sehingga mendapat hukuman.

"Nara!"

Mendengar namanya di panggil, Nara menghentikkan langkah. Gadis itu menengok dengan mata memicing, berbeda dengan Septian yang tersenyum malah tersenyum tanpa dosa. Nara ini seorang kakak kelas loh, tapi lelaki itu memanggilnya tanpa embel-embal Kak.

Nara bukan gila hormat, hanya saja sudah sewajarnya setiap orang bersikap sopan.

"Kamu manggil apa tadi?" tanya Nara, takut salah mendengar. Namun, dengan santainya Septian mengulangi apa yang sebelumnya lelaki itu ucapkan. "Nara."

Kan? Bener. Ia tidak salah mendengar. Berdecak, Nara memperhatikan lelaki di depannya.

Septian mengusap belakang lehernya, agak salah tingkah. Wajahnya yang putih menampilkan semburat merah, pasti lelaki itu merasa malu karena ketahuan sedang mendapat hukuman.

"Kali ini apa lagi? Gak ngerjain tugas?" cecar Nara. Setelah pendekatan yang beberapa bulan ini dilakukan adik kelasnya, Nara tanpa sadar selalu memperhatikan gerak gerik lelaki itu. Septian kerap datang terlambat dan sering berkeliaran di koridor jika kelas kosong. Sama seperti Aid- aish!

Nara mendengkus kecil. Bisa-bisa ia mengingat lelaki bernama Aidan. Berusaha mengabaikan ingatannya tentang sang mantan gebetan, Nara kembali menatap sosok tampan di depannya.

Septian meringis lalu berkata dengan penuh kesungguhan. "Kali ini ngerjain tugas, tapi bukunya ketinggalan."

"Ck, nggak aneh!" Nara berbalik untuk melanjutkan langkah, mengabaikan Septian yang hendak mengatakan sesuatu. Keberadaan adik kelasnya membuat Nara hampir melupakan buku paket yang pasti sudah ditunggu kedatangannya.

Membuka pintu kelas, ia langsung mendapat tatapan tajam sang guru.

"Nara, coba tanyakan pada Pak Hans, berapa banyak waktu yang dihabiskan jika kamu berjalan dari ruang guru ke kelas dengan menggunakan kecepatan rata-rata."

Oke, Nara tahu, Bu Juni tengah menyindirnya yang menghabiskan banyak waktu hanya untuk membawakan satu buah buku. Meringis, Nara menatap dengan perasaan bersalah penuh.

"Maaf, Bu," gumamnya menampakan raut penyesalan. Dalam hati, ia merutuki tingkah bodohnya karena malah berbicara dengan Septian, si adik kelas tak sopan yang sayangnya memiliki wajah tampan, eh.

"Ya sudah, kamu boleh duduk!" perintah sang guru. Mendengarkan permohonan maaf Nara malah menghabiskan banyak waktu. Salahnya juga meminta gadis itu untuk mengambilkan bukunya.

Mengembuskan napas lega, Nara berjalan menuju tempat duduknya.

"Habis traveling dulu dari mana?" tanya Lala. Sindirannya memang tak main-main.

About Aidan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang