7. Math Rivalry

65 18 0
                                    

"Kenapa Class point kita nol?"

Rain memperlihatkan data Class point yang tadi ia lihat. "Kelas sepuluh math satu sampai sepuluh math empat Class pointnya seratus. Kenapa kita enggak? Jangan bilang seratus ini adalah start class point, dan kelas kita nggak dikasih," kata Rain datar.

"Kamu cepat tanggap ya. Kalau bisa menyimpulkan seperti itu, sepertinya saya tidak perlu menjelaskan lebih jauh," kata bu Seli merapikan barang-barangnya. Ia bersiap keluar kelas karena sebentar lagi jam istirahat berbunyi.

"Gimana cara dapet Class point?" tanya Cielan mengangkat tangannya agar terlihat oleh bu Seli. Ia juga berdiri untuk memudahkan Bu Seli dalam menemukannya.

"Saya tidak berkewajiban menjawab karena itu tidak berhubungan erat dengan saya. Yang mengurus Class point itu anggota OSIS," kata bu Seli bersiap keluar kelas.

"Namun, Class point itu mempengaruhi pandangan guru pada kelas itu."

"Oh iya. Batas waktu kalian untuk menaikkan point di atas nol adalah dua minggu. Setelah dua minggu, point yang di bawah nol, kalian akan di-drop out dari sekolah." Setelah mengucapkan itu, bu Seli keluar kelas tanpa pamit disusul bel istirahat yang berbunyi nyaring yang seolah-olah mengambil kesadaran mereka.

Tidak ada yang berkutik. Mereka masih diam dengan pikiran masing-masing.

"Apa....ini yang namanya dianak tirikan?" tanya Levio dengan tatapan kosong. Merasa dibedakan dengan kelas-kelas lain karena tidak kelas mereka tidak mendapat start class point.

Jevar menepuk-nepuk pundah Levio. "Lebih buruk dari itu. Keadilan sudah musnah! Kita akan musnah!" ucapnya dramatis.

"Apa gue yang paling bego di sini?" gumam Azime tidak percaya mendapatkan nilai -192. Itu tandanya point miliknya adalah -92.

Tugas pertama yang sangat merugikan. Dia tidak yakin bisa menaikkan pointnya di atas nol. Jika bertaruh keyakinan, dia lebih yakin point minusnya malah yang bertambah.

"Arghhh!!! MPM gue tinggal lima belas dan gue nggak tau toko yang transaksinya nggak pake MPM!" seru Rimu kesal. Wajahnya ditekuk, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang tengah merajuk.

"Lagi, MPM kita bisa berkurang kalau nilai kita minus," kata Eliz resah.

"Kafetaria aja sih. Gratis kan?" tutur Cielan memberikan solusi.

Eliz tersenyum pahit mendengar solusi dari Cielan. "Andai ke kafetaria sekolah tinggal masuk, antri ambil makan, terus makan, gue nggak bakal pusing."

"Cuma jawab soal doang. Gampang-gampang tau soalnya," ucapnya yang tadi pagi ke sana. "Oh iya! Tadi pagi gue juga sempet lihat lo masuk."

"Gampang dilihat dari mata Phytagoras! Di mata gue ya susah!" kata Eliz sewot. Menyebut nama salah satu matematikawan yang ingat.

"Cuma rumus keliling persegi, lo nggak bisa?" ucap Cielan bertanya dengan polos.

"APA? KELILING PERSEGI! SIALAN NI SEKOLAH! LO DIKASIH SOAL SEGAMPANG ITU SEDANGKAN GUE DISURUH NGITUNG SINUS KOSINUS YANG GUE NGGAK PAHAM DARI DULU?" teriak Eliz kaget sekaligus kesal.

"Tenang, Liz," kata Teraka di samping Eliz. Menatap teduh gadis itu.

"Lagian sekolahnya pilih kasih banget!" ungkap Eliz sebal. Tangannya terangkat dengan memegang buku. Hampir saja ia memberi satu lemparan buku pada Cielan sangking kesalnya.

"Lo serius cuma ditanya keliling bangun?" tanya Rain yang dijawab anggukkan oleh Cielan. Rain mendengus pelan lalu memalingkan wajah.

"Guys! Ayok ke math courtroom!" seru Naya hanya memperlihatkan kepalanya dari balik pintu.

MATH SCHOOL Where stories live. Discover now