Bab 9

688 24 0
                                    

***

"Tumben minta jemput?"

Rea diam seribu bahasa dibelakang Abi. Tidak berniat menjawab karena dia juga tidak tahu harus memberi jawaban apa. Tidak ada taksi? Tidak ada ojol? Hah, yang ada Abi pasti menertawakannya. Satu-satunya jawaban paling aman ya tidak usah dijawab.

Setelah tadi mengikuti acara menyebalkan yang membuat Rea bertemu dengan Sofia,  Rea hanya ingin bertemu Abi lebih cepat. Ia berharap bisa segera menatap bocah itu diantara kekalutan pikirnya. Demi menyelamatkan dirinya dari kekhawatiran dan prasangka buruk yang bisa menyerang setelah kalimat racun yang Mamanya lontarkan diantara keramaian tadi.

"Rea?"

"Hm?"

"Acara apa, tadi?"

"Ulang tahun Pak Adam, Pemilik perusahaan."

Merasakan keengganan Rea, Abi tidak berniat membuka mulutnya lagi. Ia rasa sudah cukup basa-basinya. Sebagai gantinya, ia menambah kecepatan laju motornya agar segera tiba dirumah.

Setelah menghabiskan sekitar 10 menit dalam perjalanan, Abi dan Rea tiba dirumah. Dan Rea dibuat bingung saat hendak melangkah masuk, namun Abi tetap duduk diatas motornya. Bahkan mesin motornya pun tidak dimatikan.

"Kamu mau pergi?"

"Iya. Ada urusan, dirumah Bima."

Rea mencebik kecewa. Tadi ia buru-buru pulang karena ingin segera bertemu Abi. Tapi ternyata Abi malah akan pergi.

"Yaudah." Desah Rea akhirnya. Memilih segera masuk ke dalam rumah dan mengunci kembali pintu tanpa menoleh lagi ke arah Abi. Ya, harus begitu sebelum otak dan perasaan Rea semakin tidak beres dibuatnya.

Saat suara deru motor Abi terdengar menjauh, Rea melangkah lunglai ke ruang tengah. Menghempaskan tubuhnya ke sofa lalu meringkuk seperti bayi.

Beberapa kali Rea merubah posisinya, namun tetap tak menemukan kenyamanan. Ia tetap gelisah. Kalimat ambigu Sofia saat menyindirnya di acara tadi masih begitu terbayang di kepala Rea.

"Segeralah berhenti, Rea. Kamu masih memiliki waktu, sadarlah dan lupakan ambisimu." Sofia tahu Rea tidak menyukai ini. Ultimatum disaat hubungan mereka sendiri kurang baik. Namun Sofia tidak suka  bisa berbasa-basi, lagi pula beberapa puluh menit yang lalu mereka juga tetap saling diam meski duduk bersisian.

"Mama hanya mengingatkan. Karena perasaan ibu untuk anaknya tidak akan salah, Re. Jangan sampai kamu salah jalan karena keras kepalamu. Mama hanya khawatir kamu memilih jalan yang sesat, karena memilih hidup tanpa dampingan orang tua."

"Rea mengerti, apa maksud Mama." Jawab Rea tenang.

Sofia tersenyum kecut menatap putri sulungnya. Sedingin apapun tatapan yang Rea berikan untuknya, Sofia tetap masih yang terbaik dalam membaca diri Rea. "Kamu membenci Mama dan menganggap Mama bernasib buruk setelah melakukan kesalahan, Mama harap kamu tidak akan menjadi lebih buruk dari Mama."

"Nggak akan!" Tegas Rea pada diri sendiri. "Aku nggak akan seperti dia, aku akan mendapatkan kebahagiaan." Ucapnya seperti mantra.

Tentu saja Rea akan bahagia. Meski kenyataan sebenarnya tengah mencekiknya saat ini, memangnya apa yang lebih buruk dari memilih Abi dari pada mamanya sendiri?

***

"Lo dari mana gila? Gue cari-cari maen ngilang aja!" Gerutuan Bima menyambut Abi begitu kembali ke kost an lelaki itu. "Mana pintu nggak dikunci, kalo laptop pada ilang rugi bandar kita jing!"

"Gue buru-buru." Sahut Abi malas, namun matanya mengabsen barang-barang yang tadi ia tinggalkan. Beruntung semua masih tetap pada tempatnya.

"Lo dari mana sih? Beli makanan, kagak! Minuman juga kagak!"

PARTNER IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang