6

374 18 0
                                    

Sepanjang perjalanan Ansara terus menangis, meratapi kehidupannya yang hancur. Luka batin dan fisik, semua campur aduk.

Ansara memilih diam tidak melaporkan kejadian ini kepada pihak yang berwajib, entah apa yang ada dipikirannya saat ini. Selain balas budi, tidak ada.

Bagaimanapun Ansara merasa beruntung bisa dipertemukan dengan Alatas, ia bisa menyelamatkan nyawa eyang yang notabennya menjadi sandaran Ansara ketika senang maupun susah.

Entah jika tidak ada Alatas ia harus meminta tolong kepada siapa lagi, mungkin juga Tuhan menyatukan mereka sekarang untuk takdir yang berbeda kedepannya.

Sementara itu Alatas dan Vania sedang bercumbu rayu melanjutkan permainan mereka yang sempat tertunda tadi.

Mereka berpindah tempat yang semula berada dimeja makan berganti di ruang tamu, mereka sedang dimabuk cinta saat ini. Tidak peduli dengan keadaan apapun.

"Sayang, kamu kapan mau ceraikan pembantumu itu?" Suara wanita yang sepertinya Meira kenal, diiringi dengan desahan-desahan yang menggelegar.

Wajah Alatas memerah, ia sudah hampir mencapai puncaknya, "Secepatnya."

Tanpa mereka sadari, Meira yang kebiasaannya selalu datang dihari weekend mengejutkan mereka. Alatas dan Vania berpikir bahwa yang membuka pintu adalah Ansara.

Meira yang saat itu ingin mengajak menantunya untuk mengajarinya membuat kue kering untuk persiapan syok berat.

Barang-barang yang dibawa Meira bawa jatuh ke lantai, Tuhan memang maha baik memberikan jalan. Kebetulan karena ia sedang malas membawa mobil tadi diantarkan oleh supir mereka.

Dan juga karena Ansara yang sedang pergi dengan perasaan kalut sampai lupa untuk menutup kembali pintunya membuat Meira bisa masuk tanpa ada suara.

"Ma..ma.. Mama kapan datengnya?" Alatas mencoba menutupi tubuh bawahnya dengan bantal sofa.

Meira sudah menangis sesegukan, tak menyangka akan kelakuan putranya seperti ini.

Ansara yang saat itu datang juga langsung memarkirkan motornya karena melihat ibu mertuanya menangis di depan pintu rumah mereka.

Ansara sudah bisa menebak, "Bawa mama pulang Ansara, sekarang juga." Ucap Meira yang sedang dibantu berdiri oleh Ansara.

Alatas dan Vania masih diam ditempatnya, mereka juga diam saja seperti ngefreeze, bingung harus berbuat apa. Dan lagipula keadaan mereka juga telanjang bulat membuatnya tidak bisa bergerak bebas.

"Baik ma, tunggu sebentar Ansara ambil mobil dulu." Ansara membawa Meira untuk mendekat ke tempat parkir mobilnya.

Meira menggeleng, "Mama ikut."

Ansara mencoba memberi kekuatan kepada ibu mertuanya, ia tidak tega melihatnya menangis.

Sudah Ansara anggap seperti ibu kandungnya sendiri, apalagi 9 tahun belakangan Ansara tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu seutuhnya.

Setelah ini ia yakin, ibu mertuanya akan membencinya. Ansara mencoba menahan air matanya jika mengingat ia akan sendirian lagi dalam menghadapi kerasnya dunia.

Tidak ada lagi tempat untuk bercurah keluh kesah, tempat untuk meminta saran dan arahan, tidak ada lagi bahu untuk bersandar.

Ansara membuka pintu mobil untuk Meira, "Tunggu dulu ya ma, Ansara minggirin motor dulu." Meira hanya mengangguk tanpa berkata sepatah apapun lagi. Hanya tangisnya yang masih terdengar.

Sementara itu Alatas menyusul mamanya, ia sudah memakai celana dan baju sekarang. "Ma, dengerin penjelasan Alatas..." Alatas mencoba mengetuk kaca pintu mobil.

Meira tidak bergeming, ia diam saja masih dengan tangisannya. Ia merasa gagal mendidik anak semata wayangnya.

Bagaimana bisa ia menyakiti wanita lain dengan cara seperti ini, bisa-bisanya mereka bersenggama ditempat terbuka seperti itu apalagi notabennya menjadi rumah pribadi mereka.

Ansara mencoba menyusul, ia tidak berani melihat Alatas saat ini. Vania yang berada tak jauh dari mereka juga memberikan tatapan tajam kepadanya. Apa salah dirinya? Ia juga lupa kalau hari ini mama mertuanya selalu saja datang untuk berkunjung.

Ansara diam di depan mobil melihat Alatas yang sedang menangis, baru kali ini ia melihatnya, "Ma, Alatas aja ya yang nyetir? Mama mau pulangkan? Alatas anter ya ma?"

Bisa dia simpulkan, Alatas sangat patuh kepada ibunya walaupun ia tidak bisa menghargai istrinya sendiri. Ya mungkin pikir Alatas, Ansara hanyalah seorang istri kontrak yang akan bercerai jika masanya sudah selesai.

"Ansara cepat masuk mobil." Suara Meira setengah berteriak.

Tangis Alatas semakin mengeras suaranya ketika mobil mulai dijalankan oleh Ansara. "Tunggu Ansara, aku mau ikut-"

Tangis Meira sudah mulai mereda, namun berganti dengan wajah tanpa ekspresi yang semakin menakutkan. Ansara semakin bingung harus melakukan hal apa.

"Kunci." Ucap Meira singkat, dan Ansara langsung melakukannya.

|^^^^^|
|^^^^^|

Pernikahan Kontrak (18+)Where stories live. Discover now