Part 10 - Cinta Masa Kecil [2]

274 19 0
                                    

Aku pandai mengingat sesuatu. Bahkan tentang detail tidak penting seperti Gus Asna yang selalu merobek label merek yang menempel di kemejanya karena tidak nyaman. Atau dia yang suka memakai pena biru untuk menandai sesuatu yang penting di kitab atau pun dokumennya. Dan hal-hal yang mungkin tidak terpikirkan orang lain untuk diingat. Namun, keahlianku itu tidak berlaku untuk sesuatu di masa lalu, terutama tentang masa kecilku. Tepatnya ingatan saat aku antara usia 7 sampai 9 tahun. Ini karena aku pernah demam tinggi sampai tidak sadarkan diri.

Dulu para orang tua yang tinggal di sekitar rumah selalu mengejek bahwa saat kecil aku sudah cinta-cintaan. Sampai pas ditinggalkan anak yang aku suka, aku sakit parah hingga harus dimintakan air pada pak kyai agar aku melupakan anak itu dan sembuh. Tapi, aku tidak mau percaya. Aku menganggap semua itu omong kosong belaka untuk menggodaku. Karena jika memang ada seseorang yang aku suka dulu, pasti ada satu dua hal yang tertinggal yang bisa mengingatkanku padanya. Tapi, nyatanya tidak ada. 

Hanya saja, aku memang sering bermimpi tentang diriku yang masih kecil. Dalam mimpi itu selalu ada anak lelaki yang tidak jelas wajahnya. Tapi, perasaanku mengatakan dia merupakan seorang putra terhormat. Dengan pakaian-pakaiannya yang bagus dan perawakannya yang rupawan, dia ragu-ragu mengikutiku bermain di sungai maupun sawah. Namun, aku selalu mengiming-iminginya agar ikut terutama saat terjun ke dalam air. 

"Ayo, turun aja! Ini gak dalam! Lihat, aku juga gak tenggelam kan? Ayo, cepet! Kamu mau bisa berenang, kan? Kamu gak mau diganggu Abang-Abangmu lagi, kan? Jadi, cepet! Ayo, cepet!"

Byur!

Dalam mimpi itu kami selalu berakhir dengan bersenang-senang bersama. 

Setiap kali bermimpi anak itu, hatiku merasa bahagia bahkan sampai aku terbangun. Rasanya hangat dan aku jadi ingin kembali ke masa kecil. Tapi, saat memikirkan itu hanya mimpi, aku menganggapnya sebagai harapanku yang terpendam sebab menginginkan masa kecil yang bahagia. 

Selama ini yang tersisa dalam ingatan masa kecilku hanya waktu-waktu suram dan ngresenu. Aku sudah ditinggal ibu sejak masuk ke sekolah dasar karena dia menjadi buruh migran di Arab Saudi. Lalu, ayahku yang stres menjadi ikut gila kerja dan sibuk dengan urusannya sendiri. Rumahku dibiarkan suwung tak berpenghuni. Sementara, aku dititipkan di tempat simbah dari ayahku yang hanya gubug reyot.

Aku diasuh dengan sekemampuan mereka yang orang kuno dan kolot. Pakaianku sebagian lungsuran dari sepupu-sepupu, bahkan seragam sekolah dan mukena juga. Jadi, teman-teman tidak suka berteman denganku yang sangat buluk kala itu. Aku pun banyak menghabiskan waktu untuk membantu di sawah atau mencari ikan di sungai. Karena itu, aku menganggap mimpi anak kecil tadi hanya hanyalanku saja. Walaupun kadang-kadang itu terasa sangat nyata. Apalagi di saat-saat aku merasa sangat sedih sampai menangis hingga tertidur, sosok anak kecil laki-laki itu pasti datang ke mimpiku.

Dia menepuk-nepuk diriku yang berwujud anak kecil juga.

"Jangan, jangan sedih, Sinta. Kamu gak sendirian. Aku juga, aku juga ngerasa dibuang sama Abah-Umi pas ditinggal di pesantren. Apalagi kamu tahu sendiri Kang-kang sepupuku pada jahat. Aku takut, aku sedih. Aku pikir, Abah sama Umi gak sayang sama aku. Tapi, pas lihat anak-anak jalanan yang sering dibawa Mbah Yai ke pesantren, aku merasa lebih beruntung. Anak-anak yang dibawa Mbah Yai itu benar-benar gak punya siapa-siapa, gak ada yang ngurus juga. Tapi, aku punya Mbah Yai dan Mbah putri di sini. Jadi, gak papa. Kamu juga gak papa. 

"Walaupun Bapak-Ibu kamu gak tinggal sama kamu sekarang, kamu masih punya Mbah Kakung sama Mbah Putri kayak aku. Jadi, gak usah sedih. Kita juga teman, kan? Kalau teman berarti kita juga punya satu sama lain. Kalau itu gak cukup ... ayo, janji. Pas udah besar nanti, kita bisa nikah dan jadi satu keluarga ya?"

Hati SintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang