17

258 43 0
                                    

⋆♱✮♱⋆☽☾⋆♱✮♱⋆


          NATAL akhirnya berlalu dengan suasana yang membuat perasaan Rosette campur aduk. Namun salju masih memenuhi lapangan rumput Hogwarts ketika mereka sampai, walau tidak sebanyak Desember kemarin.

Untuk kesekian kalinya, gadis itu tidak bersemangat kembali ke Hogwarts. Sejak dulu dia takut akan bertemu para perundungnya, tapi kini kembali ke sekolah berarti menempatkan dirinya sekali lagi di bawah tirani Dolores Umbridge, yang tak diragukan telah memaksakan selusin dekrit lagi selama mereka absen; dan kemungkinan besar beban PR mereka akan bertambah mengingat ujian semakin dekat. Malah, kalau bukan karena LD, Rosette berpikir dia mungkin akan memohon kepada Mrs Abbott untuk mengizinkannya keluar dari Hogwarts dan tinggal di rumah saja atau membantunya mencari uang sebagai penjual korek api atau semacamnya.

Rosette melewatkan sebagian besar hari berikutnya dengan mencemaskan malam harinya, dimana biasanya dia dan Draco bertemu secara privat ketika insomnia mereka menyerang. Dia khawatir untuk tahu sebenarnya apa yang dikatakan kakek Draco kemarin. Dua jam pelajaran Ramuan tidak menghalau kegentarannya, mengingat Snape sama menyebalkannya seperti biasa. Suasana hatinya entah kenapa semakin muram oleh ulah para anggota LD yang tak putus-putusnya mendekati Harry di koridor di antara jam-jam pelajaran, bertanya penuh harap kalau-kalau akan ada pertemuan malam itu.

"Akan kuberitahu kalian dengan cara biasa kapan pertemuan berikutnya," Harry berkata berulang-ulang, "tapi malam ini tak bisa, aku ada—eh—tambahan pelajaran Ramuan."

Rosette menghembuskan napas antara lega dan bertambah tegang. Namun ketika akhirnya ia bertemu Draco di ruang rekreasi jam setengah dua belas malam, kekhawatirannya terbukti. Lelaki itu mengajaknya masuk ke kamarnya, dan dengan agak pucat mulai bercerita. "Dia banyak bertanya padaku seperti bagaimana aku mengenalmu dan lain-lain," katanya cepat. "Tapi dia tidak memberitahuku apapun kecuali sesuatu yang mencurigakan di akhir, bahwa kau berbahaya."

"Apa?" Rosette mengeryit bingung. Dilihat darimananya sampai orang menganggap dia berbahaya?

"Aku juga tidak paham. Aku berusaha mencerna tapi dia terus menyuruhku untuk menjauhimu."

"Itu aneh," kata Rosette sangsi, tapi sebenarnya dia agak menyetujui kalau pria itu pasti menyuruh Draco menjauhinya karena status darah. "Tapi dia terlihat mengenaliku...maksudku, seakan dia tahu aku, dan aku merasa aku pernah melihatnya entah dimana."

"Kau pernah bertemu kakekku?"

"Tidak...," kata Rosette ragu. "Tidak seperti bertemu. Aku hanya pernah melihatnya. Aku tidak yakin."

Pembicaraan mereka malam itu jelas tidak membuahkan hasil, malah menambah beban pikiran karena pernyataan Rosette yang menggantung. Mereka memilih untuk mengabaikannya sesaat selama PR dari Umbridge menumpuk dan jika tidak dicicil, maka otak mereka mungkin meledak di jam berikutnya.

Rosette menyandarkan kepalanya di meja ketika ia, Justin, Hannah, Ernie, dan Susan di dalam perpustakaan, tempat mereka sedang mengerjakan PR Umbridge yang berlimpah keesokan harinya, dan sudah pusing ketika lembar perkamen mereka menggunung di ujung meja. Murid-murid yang lain, hampir semuanya anak kelas lima, duduk di meja yang diterangi lampu di dekat mereka, hidung terbenam ke buku, pena-bulu menggurat cepat perkamen, sementara langit di luar jendela semakin lama semakin gelap. Suara lain yang terdengar hanyalah decit pelan sebelah sepatu Madam Pince, ketika petugas perpustakaan itu berkeliling lorong dengan galak, menginspeksi mereka yang menyentuh buku-bukunya yang berharga.

"Kupikir aku akan muntah," kata Hannah, menaruh pena bulunya di atas meja dan terhenyak di kursinya. "PR-PR ini membuatku mual."

"Aku sudah menyerah dari tadi," kata Rosette dalam gumaman. Matanya sayu dan dia mengantuk—semakin mengantuk ketika tangan Justin mengelus kepalanya. "Bangunkan aku kalau kalian sudah muak juga."

𝐀 𝐒𝐨𝐮𝐥𝐦𝐚𝐭𝐞 𝐖𝐡𝐨 𝐖𝐚𝐬𝐧'𝐭 𝐌𝐞𝐚𝐧𝐭 𝐭𝐨 𝐁𝐞 | 𝐕𝐨𝐥 𝐈 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang