Dua Puluh Satu

7.3K 971 239
                                    


"Itu pembangunan guest room yang baru, rencananya nanti mau saya kasih pintu gebyok, yang saya pesan sendiri ke kamu kemarin itu. Ya biar wali murid punya kesan kalau pesantren ini kayak rumah, begitu. Lebih adem juga hawanya, Nug. Ya apa enggak?"

Nugra mengamati bangunan yang separuh jadi jauh di depannya lantas memberi anggukkan. Dia sedang berada di Magelang sekarang ini, bukan tanpa alasan, dirinya memang sengaja. Di titik terkalutnya kemarin, Nugra menghubungi Ghani, sosok yang begitu ia segani, berharap dari pria berusia empat puluh tahun yang telah ia anggap sebagai kangmas-nya sendiri ini bisa mendapat sedikit banyak pencerahan untuk menerangi kepalanya yang teramat suram.

Keduanya berdiri, Ghani melipat kedua tangannya ke belakang, sementara Nugra memasukkannya ke dalam saku celana. Matahari berada tepat di tengah dan cuaca sedang terik-teriknya, membuat titik-titik keringat muncul di dahi dua pria dengan warna kulit sedikit berbeda namun memiliki postur serupa itu. Hingga akhirnya Ghani, sang tuan rumah mengajaknya melipir ke gazebo yang sepi, yang sekiranya membuat mereka memiliki privasi.

"Ada apa? Kayak nggak mungkin ke sini cuma tanya kabar," Ghani bertanya dengan gaya ngemongnya yang khas, tangannya mendorong secangkir kopi hitam yang dibawakan oleh salah seorang rewang ke depan tubuh Nugra yang juga tengah duduk bersila.

"Sering lho saya sowan cuma karena pengin tahu kabar sampean sama Abah sekeluarga," Nugra yang merasa disindir jelas saja tidak terima, sedangkan Ghani malah tersenyum jenaka.

"Ya udah, sekarang ada apa? Wajahmu juga kelihatan beda."

Nugra yang memanggil Ghani dengan sebutan 'mas' daripada 'gus', sementara Ghani memanggil Nugra cukup dengan nama, sepertinya sudah cukup menggambarkan jika hubungan mereka memang telah begitu dekat, walaupun masih terasa unggah-ungguh yang diberikan keduanya.

"Surem ya, Mas?"

Ghani tidak menjawab, melainkan hanya memberikan Nugra tatapan penuh arti.

"Akhir-akhir ini emang sumpeknya luar biasa."

"Diminum dulu kopinya."

Nugra menurut walau dia hanya menyesap sedikit, alisnya mengerut samar ketika kopi hitam yang jelas tanpa gula di dalamnya itu berhasil dirasa oleh indranya.

"Dari tadi kok nggak lihat Gilang sama Ning Rara?"

"Lagi ke Semarang. Omanya yang dari Jakarta di sini kebetulan."

Nugra diam sejenak, padahal di perjalanan tadi dia telah memilah kata yang sekiranya pas untuk dia katakan pada Ghani soal permasalahannya, namun kini lidahnya begitu kelu. Dia bingung, iya. Malu, iya. Segan, iya. Walau harusnya dia tahu betul pria seperti apa Ghani. Laki-laki itu adalah role model-nya selama ini, dari Ghani lah Nugra belajar dan meniru banyak hal. Kedewasaannya, kesabarannya, kedermawaannya, betapa bersahajanya, rendah hatinya, segalanya yang baik.

Meski memang, mereka semua adalah manusia biasa yang tak luput dari khilaf, ego, dan keliru.

"Dimakan juga kue keringnya, Nug. Istriku yang bikin sendiri."

"Dari dulu ning-nya masih suka baking begini ya."

"Udah jadi hobi, malah kan punya channel masak-masakan juga dia. Tiap dua hari sekali, wah ... ribut sendiri di dapur. Jadi kue-kuean begini melimpah, nanti ambil buat Mbak Tyas."

Nugra tentu saja mengiyakan dengan senang hati. Sebab pemberian itu bukan tentang bentuk barang atau nominal, melainkan dari upaya yang membuatnya istimewa.

"Sebenarnya ke sini mau minta sangu juga, Mas," akhirnya Nugra mengutarakan kalimat yang sedari tadi dia untai.

Sedang Ghani yang paham, diam menunggu.

Kala MerakiWhere stories live. Discover now