Tiga Puluh Satu

8.3K 1K 209
                                    

Nugra tidak bisa menghitung seberapa banyak napas yang ia hela. Mata itu menatap ke sembarang arah asal bukan menyorot pada sang mama. Bahkan jika bisa, ingin dia tutup rapat-rapat saja telinganya supaya tak perlu mendengar isak tangis memilukan dari wanita yang telah melahirkan tersebut. Dia tahu, ketika mamanya memanggil lewat telepon dengan suara lirih memintanya untuk datang ke panti, di situ lah Nugra sudah berada pada masa di mana dia harus membuka semuanya.

"Nug ... Ya Allah... Nugraha..."

Rahang Nugra mengetat, gigi atas dan bawahnya dia rapatkan erat.

"Nggak ada, Nug. Rumah tangga yang nggak ada ujiannya itu nggak ada. Sekarang Mama tanya, yang bikin kamu nekat bilang begitu ke Tyas itu apa? Gara-gara Mama? Demi Allah, Nug, ini lebih menyakitkan buat Mama. Apalagi Tyas lagi hamil anakmu, apa nggak mikir kamu apa aja dampak yang kamu kasih ke dia?"

Tyas bahkan dulu tak memikirkan dampak atas perbuatannya pada Nugra, lantas kenapa sekarang Nugra ditaruh pada posisi tersangka?

Bukan kah ia juga sama seperti Tyas dan yang lainnya? Nugra hanya manusia biasa, dia bukan malaikat, bukan nabi, kekuatannya tak sebesar itu untuk bertahan di rumah yang selama ini terlewat banyak menorehkan sayat.

"Kamu pengin kejadian dulu keulang lagi? Tyas punya riwayat kayak begitu, kamu mau keulang lagi? Iya?"

"Ma..."

"Dia itu lagi hamil, Nug. Emosinya kemarin itu bagian dari hamilnya itu lho, jadinya meledak-ledak. Itu salahnya Mama, dia sakit hati gara-gara Mama," Bu Endang tertatih, dia turut bergabung dengan yang terduduk diam sedari tadi. "Manusia itu tempatnya salah, Le. Mama punya salah, kamu punya salah, Tyas punya salah. Dia tadi nangis-nangis sama Mama, minta maaf sama Mama, dia juga udah mengakui salahnya sama kamu. Terus yang kamu mau itu apa, Nug? Yang dipunya Tyas itu cuma kamu, sekarang dia hamil anakmu. Bahkan anak aja nggak bisa sampai sentuh hatimu, terus yang kamu kepingin sekarang itu apa? Bilang sama Mama coba. Apa?"

Sebab tak juga mendapat jawaban, tangan Bu Endang terulur, menyentuh wajah sang putra. "Nug ... Mama nggak pernah ajari kamu buat lepas tanggung jawab. Kamu ini mau jadi ayah sebentar lagi, Nak."

"Aku nggak sebejat itu sampai lepas tanggung jawab sana anakku kok, Ma. Justru kalau dipaksain, malah kasihan. Mumpung belum, supaya dia terbiasa dari kecil. Aku udah nggak bisa lagi sama Tyas, bener-bener nggak bisa. Dan tolong, Ma ... tolong sekali aja, hargai keputusanku. Mau aku kasih seribu alasan pun, Mama bakal salah-salahin aku. Silakan kalau Mama mau di sisinya Tyas, aku cuma mau dihargai, itu aja."

Rasanya seperti ... sia-sia. Kabut kekecewaan itu pelan-pelan juga mulai menyelimuti Nugra. Selama ini dia telah menjunjung sang mama, tidak membiarkannya terinjak sedikit saja bahkan oleh Tyas yang kala itu menjadi istrinya sekali pun. Tapi sekarang justru Nugra lagi-lagi disalahkan. Selalu dan terus menerus.

"Mereka yang nyakitin dia, tapi siapa coba yang dia jadikan samsak? Aku, Ma! Anaknya Mama. Ratusan hari aku merasa jadi manusia paling buruk karena tiba-tiba istriku nggak acuh, dia kayak nggak sudi aku sentuh, nengok pun nggak mau berlama-lama. Bicaranya asem, tatapannya dingin, rumah itu udah nggak ada anget-angetnya sama sekali. Tapi aku masih diam, Ma. Aku selalu mikir kalau kesalahannya ada di aku, walau aku pun juga nggak tahu kejahatan macam apa yang udah kulempar ke dia. Dia nggak bisa ditegur apa lagi dimarahi, saking takutnya dia balik marah lalu kemungkinan terburuknya pergi, aku sampai biarin begitu aja harga diriku diinjak-injak sama dia. Masalahnya nggak sesederhana pikiran Mama, aku udah cukup lama berusaha sendirian, Ma. Bisa sekarang dia bilang nyesel, bakal berubah. Enteng. Tapi tiap nengok yang dulu-dulu, sakit banget rasanya. Udah nggak ada yang kesisa buat Tyas. Udah habis semuanya. Aku nggak bisa pura-pura, apalagi di depan anakku sendiri."

Kala MerakiWhere stories live. Discover now