Chapter 10 - Persimpangan

41 5 0
                                    

Kan kutelusuri semua jalan itu satu per satu, agar bisa kutemukan di mana pintu hatimu yang sebenarnya.
***

Tahu hal apa yang selalu Anin lakukan setelah membuka cafenya sendiri? Ia selalu menghargai pelanggan yang datang, hingga tak pernah berani mengacuhkan, atau berbuat ketus padanya, walaupun itu orang yang sudah membuatnya kesal di masa lalu. Anin sudah belajar bagaimana cara menerapkan profesionalismenya semenjak ia belajar berjuang sendiri.

Tapi berbeda dengan kali ini. Anin memasang tampang malas kala meletakkan dua cangkir kopi di atas meja berisi orang yang sangat ia kenal. Ekspresinya itu jelas membuat sang kakak mengernyit heran, mengingat tidak ada kejadian menyebalkan yang terjadi pagi tadi. Daffin pun yang sudah beberapa hari ini tak bertemu Anin, makin penasaran dengan tampang penuh kejujuran yang tak Anin sembunyikan di hadapan mereka berdua.

"Eht mau ke mana? Sini duduk dulu," cegah Ade sigap dengan mencekal lengan kanan Anin. Mengedikkan dagunya, menyuruh Anin duduk dengan segera.

Tak bisa menolak, Anin pun langsung mendaratkan tubuhnya di kursi yang tersedia. Mengabaikan helaan napas sang kakak yang membuat Daffin menatap bergantian dua kakak beradik di hadapannya.

"Kan kakak udah bilang, libur aja dulu enggak papa. Azkia sama Melvin pasti bisa handle semuanya kan? Lemes kan kamu jadinya Nin. Enggak enak dipandang banget sama pembeli loh," tegur Ade yang hanya ditanggapi kesunyian. Anin tetap sibuk memperhatikan para pengunjung cafenya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. "Kamu tuh kenapa si Nin, kalau ada masalah tuh jangan dibawa ke pekerjaan. Enggak baik."

Anin tanpa sadar melirik Daffin, yang balik menaikkan salah satu alisnya tanpa rasa bersalah. Anin seketika berdecak pelan, membuat Ade beralih menatap dua muda-mudi di hadapannya dengan tatapan penasaran. "Kalian kenapa si? Tiap ketemu kayaknya mau ngajak perang terus," tanya Ade masih tak mengerti. Mengingat betul betapa kagetnya Anin saat tahu ia bekerja sama dengan Daffin, teman masa sekolahnya.

"Harusnya kakak yang tanya sama Daffin, kenapa hobi banget ngrepotin aku, gitu? Cafe di sini tuh banyak, kenapa harus ke sini terus? Dan ..." Anin mencoba menarik napasnya, menahan rasa kesalnya agar tidak keluar semena-mena. "kenapa aku terus yang harus kamu repotin Daf? Ada bang Melvin loh padahal."

"Hah?" Tentu saja Ade langsung mengerutkan keningnya tak mengerti, sedang Daffin justru dengan entengnya menarik kedua sudut bibirnya tanpa rasa sungkan sedikit pun. "Kamu tuh ngomong apa si Nin?" tanya Ade sembari memijit kepalanya pelan. Merasa beban di pundaknya makin memberat mendapati kelakuan adiknya yang tak terduga.

Daffin seketika terkekeh. Membuat Anin langsung menatap tajam ke arahnya. "Bukan salah Anin kok Bang. Mungkin Anin masih ngerasa kaku aja setelah lama enggak ketemu gua. Dulu kan kita emang enggak deket banget," jawab Daffin santai yang membuat Anin tanpa sadar menyipitkan maniknya. Memperingati Daffin untuk tak meneruskan kalimat tak bermaknanya.

"Kita emang enggak deket, makanya lo enggak perlu minta gua buat selalu bikinin lo kopi tiap ke sini Daf. Gua tuh ...." Anin langsung menjeda kalimatnya. Tak berani jujur di hadapan sang kakak juga biang dari segala kegundahan yang selama ini menghantuinya.

Ade seketika mengedikkan dagunya. Menanti kelanjutan kalimat Anin yang tertunda. "Kamu kenapa Nin? Jelasin. Biar kakak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian," ucap sembari menatap Daffin yang masih bersikap tenang di hadapannya.

Anin menatap Ade ragu, tak berani mengutarakan hal yang ia pendam sedari dulu. "Aku enggak nyaman," jawabnya dengan satu tarikan napas. "Kakak sendiri tahu, aku sama Daffin enggak ada apa-apa."

"Kalau enggak ada apa-apa, kenapa kamu sampai sekesal ini hm? Daffin kan temen kamu, wajar dong kalau dia minta pelayanan spesial dari temannya?"

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang