Chapter 22 - Perkenalan

19 5 0
                                    

Tuan, aku ingin bertanya-sejauh apa kamu mengenalku?
~

Sejak kecil Anin sudah diajari untuk mandiri. Begitu pun setelah tinggal bersama sang kakak, kemandiriannya benar-benar harus diuji, karena sang kakak sangatlah suka merepotkannya. Seperti sekarang. Saat matahari tepat berada di atas kepala, di mana cafenya tengah dihinggapi lautan manusia, Ade justru memintanya pulang ke apartmen untuk mengambil sebuah dokumen, dan mengantarkannya ke restoran yang kini menjadi tempat meeting sang kakak.

Inginnya Anin menolak, tapi apalah daya jika sang kakak sudah membawa-bawa nama ibunya, dan mengancam akan menggeret Anin pulang selama satu bulan ke kampung halamannya. Jadilah dengan mempercayakan semua kerepotan pada rekannya, Anin memilih menuruti permintaan sang kakak tercinta.

Setelah mendorong pintu restoran, Anin mengedarkan pandangannya. Sebelum berdecak pelan, menyadari alasan apa yang mendasari Ade merepotkannya kali ini.

Ia melangkahkan kakinya dengan malas, membiarkan kacamatanya melorot, membuat pandangannya sedikit terganggu kemudian. Tak apa, supaya ia tak melihat dengan jelas ekspresi puas yang kakaknya berikan kala melihat batang hidungnya.

"Baik banget si adik gua," puji Ade berbasa-basi, membuat Anin seketika mendengkus. Lain lagi dengan partner meeting Ade yang hanya terkekeh kecil.

Menarik kursi kosong di samping kakaknya begitu saja, Anin menatap tak suka senyum meremehkan itu. "Kakak sengaja ya pasti?" tanya Anin memicing membuat Ade menghela napas jengkel.

"Bukannya terima kasih juga. Kapan lagi kan bisa ketemu Daffin begini? Dia kan lagi sibuk Nin, jadi lo harus inisiatif samperin dong."

Melayang sudah cubitan maut Anin di lengan kiri sang kakak. Membuat si objek mengaduh, dan Daffin yang dari tadi membungkam bibirnya, menggelengkan kepalanya.

"Apa sih dek? Suka banget main kekerasan. Harus siap-siap mental lo Fin kalau sama Anin," ucap Ade memperingati, yang hanya dibalas anggukan mantap oleh Daffin.

Dan Anin hanya bisa menghela napasnya kemudian. Beralih mengambil jus jeruk yang ia yakin merupakan pesanan Ade begitu saja, menghiraukan delikan tak terima dari sang kakak.

"Mau makan juga Nin? Biar gua pesenin nih," tawar Daffin yang langsung dibalas gelengan kepala oleh Anin.

Daffin yang menduga Anin pasti akan menolak, memilih mendorong piring berisi brownis lumer ke hadapannya, membiarkan Anin menyantapnya kemudian.

Anin hanya melihatnya. Diam-diam menahan kedua sudut bibirnya agar tidak tertarik, menyadari perhatian yang Daffin berikan terang-terangan di hadapan kakaknya. Ade pun tak mengambil pusing. Ia justru langsung membuka dokumen yang tadi dibawanya, lalu melakukan obrolan serius bersama Daffin yang tak sedikit pun dipahaminya.

Anin sudah pernah bilang belum sih, ekspresi serius Daffin itu selalu membuatnya tak bisa beralih? Diam-diam membuatnya kesal, mengapa bisa semudah itu mencuri perhatian Anin. Jadilah Anin membiarkan pandangannya tetap terpaku di sana, memerhatikan Daffin yang sesekali beralih menatap laptopnya. Tak sedikit pun menginterupsi, membiarkan kebosanan melingkupinya karena Anin tak mengerti harus berbuat apa.

"Mau langsung pulang, atau nunggu kita selesai?" tanya Ade menyadari sedari tadi adiknya hanya terdiam memainkan gawainya.

Anin menatap cuaca di luar sana. Tadi ia memesan ojeg, dan ia terlalu sungkan untuk kembali menggunakan jasa itu selagi sadar ada tumpangan yang bisa membawanya pulang. "Masih lama?" tanyanya balik, membuat Ade justru beralih menatap Daffin.

"Kakak habis ini mau balik ke kantor lagi, kebetulan Daffin free, pulang sama Daffin yah?"

Tentu saja Anin sadar itu bukan permintaan, melainkan perintah dari sang kakak, yang mungkin sadar jika Anin perlu menghabiskan waktu lebih lama bersama Daffin.

Devolver (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang