08🌊; Sakitnya luar biasa

62.6K 6.1K 994
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy Reading!

Arimbi tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Ibu tidak pernah main-main, bahkan sebelum gempa bumi tadi terasa–entah sampai ke kota kemana, ibu sudah merapikan beberapa barang untuk lebih dulu dibawa dan diangkut ke rumah yang akan ia tempati nanti. Keluarga Arimbi benar-benar akan meninggalkan desa ini. Bukan hanya karena ingin memisahkan Arimbi dengan Apta, tapi karena keharusan juga ia pindah dan menetap di sana.

Pulang-pulang dengan keadaan jantung berpacu lebih cepat serta napas yang masih menggebu, Arimbi tertegun saat menyadari kalau seluruh barang-barang di kamarnya ternyata sudah tertata rapi di teras rumah, teras rumah yang luas nya bukan main.

Jelas Arimbi heran, kenapa harus sekarang? Dan kenapa harus barang-barangnya yang lebih dulu dipindahkan? Hingga tanpa Arimbi sadar, dari balik jendela, ibu sedang memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ibu tahu, bahkan ibu sudah sangat hapal dimana putrinya saat gempa bumi berlangsung tadi jika bukan dengan pemuda bernama Apta itu. Pujaan hati Arimbi yang sampai kapan pun tidak akan mendapatkan restunya.

"Ibu." Arimbi masih belum mengerti, meski pemandangan dihadapannya ini sudah cukup membuatnya paham.

"Ibu, kenapa barang-barang Arimbi yang lebih dulu dipindahkan?" Sorot matanya berkaca-kaca, Arimbi yang sudah sadar kalau Ibu sedang memperhatikannya dibalik jendela pun perlahan mendekat.

"Ibu.." suaranya terdengar memohon, bibir merah muda itu digigit pelan, "Arimbi nggak mau, bu."

"Dengan ibu, sayang.." tangan bersih dan wangi itu mengusap lembut puncak kepala sang anak, "Barang ibu sudah lebih dulu dipindahkan. Nanti setelah milik ibu selesai, giliran barang-barang mu."

"Apa nggak terlalu cepat, bu? Arimbi masih butuh waktu.."

Mendengar itu, ibu sudah tahu kalau Arimbi masih saja memikirkan Apta yang jelas-jelas malah membawa dampak buruk untuk kehidupan putrinya nanti. Apta dimata ibu sudah tidak bisa dinegoisasi lagi, semua yang ada di diri Apta, tak ada satupun yang Ibu sukai.

"Kenapa? Apta? Alasannya laki-laki itu, kan?"

Hembusan napas panjang terdengar, Arimbi membawa tangan ibu untuk ia genggam.
"Bu.. Tolong mengerti sedikit saja, Arimbi minta waktu satu hari, setelah itu baru Arimbi ikut Ibu."

"Waktu untuk apa? Untuk menyampaikan salam perpisahan pada laki-laki itu? Atau cuma untuk memperpanjang waktu?" Kirana menghembuskan napas kasar sembari memejamkan matanya beberapa detik.

"Arimbi, dengar Ibu, nak.. Ibu melakukan ini demi kamu, putri Ibu satu-satunya. Ibu nggak mau jika hal yang tidak diinginkan terjadi, Ibu ingin Arimbi bahagia di hari tua nanti."

"Dengan pilihan Ibu? Iya, kan?" Entah mendapatkan keberanian dari mana Arimbi tiba-tiba saja memotong ucapan Ibu.

Arimbi semakin terlihat frustrasi, perempuan muda dengan rambut yang sengaja digerai itu pun tak lepas memandangi wajah Ibunya dengan tatapan berkaca-kaca.

Laut pasang, 1994 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang