09🌊; Jangan benci bapak, Mas

62.7K 5.8K 576
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

"Aku juga, Mas. Maryati bermain dibelakang ku dengan si Jupeng. Memang apa bagusnya dia? Dia kerempeng, bahkan nyaris gepeng."

Hartono sore-sore begini sudah duduk manis di teras rumah sembari menyadarkan kepalanya dipaha Apta. Keduanya sama-sama sedang dilanda sakit hati soal cinta. Yang mana justru tanpa disadari mereka merasakan patah hati secara bersamaan. Walaupun tidak separah Apta, Hatono juga sama sakitnya mendengar kebohongan dari mulut Maryati beberapa hari lalu. Sedangkan yang Hartono tahu, Apta malah lebih sering sakit hari karena ucapan ibu Arimbi.

Hembusan napas panjang terdengar sebelum Apta tertawa dan memukul kepala Hartono sampai-sampai ayam itu terkejut dan mengepakkan sayapnya.

"Seperti itu! Hajar saja si Jupeng sampai mampus!"

Apta beranjak dari duduknya sembari menatap Hartono yang masih kelimpungan selepas dipukul.

"Jupeng bukannya sahabat mu? Tempeleng saja, jangan takut." Lantas ia ambil Hartono pada pangkuannya, mengusap lembut kepala ayam jantan itu sambil sesekali menyesap batang nikotin yang ia temukan disamping kursi. Rokok yang sepertinya tanpa sengaja bapak tinggalkan di sana.

"Becanda. Biarkan saja mereka. Kamu kan lumayan ganteng, cari saja yang lain. Jangan dengan Maryati, dia sama sekali nggak menghargai kamu."

"Cari dimana? Ayam betina hanya ada satu disini."

Apta mengangguk, benar juga ucapan Hartono. Disini kebanyakan atau bahkan hampir semua yang memelihara ayam itu memilih ayam Jantan. Entah apa tujuannya, tapi yang diucapkan Hartono memang benar. Mungkin di daerah sini hanya Maryati, tapi di Rw sebelah siapa tahu ada yang lebih dari Ayam Betina itu.

"Nggak usah pusing-pusing mikirin cinta, pikiri dulu tuh bagaimana bisa kandang mu bolong begitu." Apta menunjuk kandang Hartono menggunakan dagunya, sedangkan tangannya masih sibuk membuang abu rokok yang semakin mengecil.

"Mas nggak tahu? Itu kan karena gempa bumi tadi! Kandang ku memang pintunya sudah rusak, kalau tidak diganjal batu, mana bisa menutup sendiri."

Apta mengangguk lagi, "Iya juga ya.." kemudian memandang ke arah Hartono yang terlihat begitu nelangsa menatap rumahnya yang tak lagi memiliki pintu. "Lalu bagaimana?"

"Bagaimana apanya?! Buatkan lagi rumah yang baru! Mas nggak kasihan kalau aku kedinginan malam ini?"

Apta hanya terkekeh mendengar penuturan Hartono sembari menginjak batang rokok yang sudah pantas dibuang.

Laut pasang, 1994 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang