Dua dua : 22

133 25 0
                                    

"Saya ingin bertemu dengan Deriell Edler."

"Apakah anda salah satu orang yang ada di list ini?" ujar sipir menyerahkan papan kecil tanpa menoleh.

"Bukan."

Kepala sang sipir terangkat ketika suara sedikit sinis itu terdengar di depan kaca. Keningnya sedikit mengerut. Sudah berapa orang yang hendak bertemu dengan lelaki tampan itu. Ia menggeleng kecil dan memperbaiki topinya.

"Anda orang kesebelas yang ingin bertemu dengan Edler. Dia menolak siapapun yang bertemu, selain orang dari daftar tersebut."

Adhista mendengus sinis. Ia menarik papan kecil itu kasar dan akhirnya membaca dengan benar siapa saja daftar yang diinginkan Deriell.

"- Alfi, Ryder, Gema, dan..." jari-jari panjang itu menyusuri setiap baris nama. "Dominic?! Sial, dia bahkan gak ngasih masuk nama gue?!" dumelnya marah.

Gadis itu kasar mendorong papan tersebut masuk kembali. "Dominic. Bilang kalau Dominic ingin bertemu."

"Entahlah, nona. Setidaknya ada lima orang yang mengatakan hal sama."

"Dia bersamaku, Roger."

Baru saja Adhista ingin membuka mulutnya marah, ketika seseorang lebih dulu muncul di belakangnya dan membuat sang sipir ikut mengangkat tubuh untuk berdiri.

Seolah sudah mengenal dengan baik siapa pria di hadapannya, si sipir tersebut mempersilakan Adhista dan pria tadi untuk masuk.

"Dia sudah menunggu, tuan."

Di sisi lain, Deriell sudah duduk menyandar dengan kancing kemeja tahanan yang terbuka. Santai menatap wajah kesal gadis yang cukup ia rindukan beberapa minggu belakangan. Senyumannya terukir tipis.

"Lo berhasil bawa dia," Deriell bertepuk tangan kecil. "Good job, sweetheart."

Adhista berdecih sinis, dan menghentakkan kakinya malas. Ia berbalik dan meninggalkan ruang makan kosong itu, membiarkan dua orang pria saling berhadapan dengan wajah datar nan tenang. Tugasnya memang hanya mempertemukan dua orang tersebut.

"Akhirnya kita bertemu untuk pertama kali." Sapa pria itu ketika pintu tertutup oleh Adhista.

Deriell mendengus sinis. "Pertama kali untuk saya, seringkali untuk Anda, bukan?"

"Yha... setidaknya secara resmi-"

"Axelio Brandon, a.k.a dikenal sebagai Dominic. Ex. Ketua Defender yang menjabat cukup lama, dan berhasil membawa Defender menjadi crew tertinggi, di atas Bigboss." Deriell dengan enteng memotong ucapan Axel dihadapannya. "Pemilik saham tertinggi Draco Company, serta perusahaan underground yang dijalankan adalah... penjagaan tingkat tinggi? Serta permainan gelap dalam pertandingan mobil kelas dunia."

Senyum Axel mengembang tipis. "Adhista bekerja dengan baik rupanya."

"Pertanyaannya adalah, kenapa Anda mencari saya selama ini? Pesan-pesan yang masuk, itu semua dari Anda, kan?"

"Medler... kau putra satu-satunya dari Meirisa Edler." Axel memperbaiki duduknya. "Tidakkah kau tahu siapa aku seharusnya? Selain yang kamu sebutkan."

Deriell hanya menaikkan sebelah alisnya. Menunggu Axel melanjutkan ucapannya.

"Aku dan ibumu masih berkeluarga. Hubunganku dengan Meirisa cukup baik ketika kami muda."

"Saya kurang peduli dengan itu. Selain Kakek, saya kurang mempercayai orang lain di keluarga Edler." Deriell masih beradu tatap dengan Axelio dihadapannya. Sedikit banyak ia sudah tahu beberapa hal tentang lelaki tersebut, berkat berkas yang diberikan Adhista saat ia berada dalam sel berhari lalu. Dan malam ini, ia bertemu tatap langsung dengan sang pemegang Death Crew tersebut. "Kematian Meirisa, Anda mengetahui sesuatu, bukan? Tak perlu lagi berbasa-basi, saya sengaja memasuki sel ini hanya agar kita bisa bertemu dengan tenang."

Tampak Axel tertawa kecil. Benar-benar tidak ada celah untuk berkenalan.

"Sepuluh orang jenius, kamu tidak ingin mengetahui lebih dulu apa alasannya?" Deriell menggeleng sebagai balasan. Artinya ia akan mengetahui di akhir cerita saja. Axel memperbaiki duduknya.

"Aku tidak akan menceritakan semuanya dari awal dengan lengkap, karena itu hal yang percuma. Meirisa dan aku masih memiliki ikatan keluarga, antara ayahku dengan ayah Meirisa. Ia adalah putri tunggal, setelah dua saudaranya meninggal karena bisnis yang dijalankan oleh ayahnya. Dan sialnya, ia juga harus pergi karena pekerjaan yang ia miliki."

"Karena satu kesamaan, Meirisa dan aku cukup akrab saat itu. Tujuan kami selalu sama, pekerjaan yang kami lakukan juga selalu terasa lebih mudah karena selaras,"

"Cukup menakjubkan, ketika melihat gadis anggun nan sangat cantik itu ternyata sangat mematikan di balik semuanya. Ia bisa membunuh dengan sangat mudah. Bekerja dengan orang-orang berpangkat tinggi, dari pemerintahan sampai dengan mafia terkuat, memakai nama La Kaliska. Atau yang sering kau dengar, Sang Rubah. Permainannya licik, namun sangat bersih. Ia hanya bekerja pada seseorang yang menarik perhatiannya. Medler yang datang pada mu, bukan kau yang datang padanya."

"Dua puluh dua tahun saat itu. Aku memutuskan menuju Sicily, sembilan jam dari Italia. Itu artinya, ada sekitar lima tahun aku tidak pernah lagi mendengar tentang kabar Meirisa. Dulu, saat kami kecil, ibumu adalah Tuan Putri kebanggaan La Costa Nostra. Kota Vatikan, ia di anggap dewi karena kebaikan dan kecantikannya. Kakekmu sangat menyayangi Meirisa. Lima tahun aku tidak mendengar kabarnya, satu-satunya yang aku dengar adalah ia semakin tumbuh menjadi gadis bangsawan yang luar biasa,"

"Kota yang pertama aku kunjungi adalah Vatikan, karena disanalah dulu ibumu tinggal. Tetapi, kakekmu mengatakan bahwa Meirisa meninggalkan rumah sejak tiga tahun silam dan tinggal di Sicily. Saat itu barulah aku tahu, kakekmu melepaskan Meirisa pergi setelah dua saudaranya meninggal karena pertempuran keluarga," Axel menatap Deriell yang hanya diam di tempatnya. Tenang mendengarkan setiap cerita kelam masa lalu itu. "Meirisa harus tetap hidup, sementara keluarga mempertahankan posisi mereka. Karena jika mereka gagal, Meirisa masih bisa mengambil alih La Costa Nostra karena ia adalah pewaris murni."

"Keluarga itu tetap bertahan, tapi, Meirisa tak pernah bisa ditemukan. Kakekmu sudah mencarinya selama tiga tahun, dan semuanya nihil. Untuk ukuran keluarga mafia terbesar seperti mereka, rasanya cukup mengejutkan jika mereka gagal mencari putri mereka."

"Saat itu, aku akhirnya memutuskan untuk berkelana, mencari keberadaan Meirisa. Mendatangi setiap tempat atau titik yang menurutku terhubung dengan Meirisa. Mengikuti semua berdasarkan apa yang aku ketahui tentang gadis itu saat kami bersama. Aku tahu, Meirisa adalah gadis yang sangat cerdas dan teliti. Itu sebabnya akan sangat sulit menemukan jejak yang ia tinggalkan. Tapi kau ingat? Bukan kita yang menghampiri Meirisa."

"Saat itu hujan cukup deras. Malam sabtu, tepat di kota Tropea, aku baru saja tiba di kota sunyi itu saat waktu menujukan jam sembilan malam. Berhenti pada salah satu cafe remang-remang, berencana untuk berteduh sebelum melanjukan langkah menuju salah satu Motel dan beristirahat. Tanpa aku sadari, Meirisa yang membawaku pada cafe itu. Dari balik jendela kaca, di dalam sana tepat di atas panggung kecil. Tersinari oleh lampu sorot, memegang sebuah gitar Itali, Meirisa bersenandung dengan suara malaikatnya. Menghibur para pekerja yang baru saja pulang setelah seharian berada di tempat kerja mereka."

Axel tersenyum kecil tanpa sadar. "Aku menemukan Meirisa setelah satu tahun pencarianku. Jaraknya bahkan hanya sekitar enam sampai delapan jam perjalanan dari Vatikan. Tentu saja dia sangat berubah. Tumbuh berkali-kali lebih cantik dan penuh keanggunan. Mata hijau itu selalu menyorot penuh kelembutan."

Deriell sedikit mendengus kecil dan tersenyum. Ia sangat mengenal mata itu. Sorotnya tidak pernah berubah, sekalipun Meirisa sedang dalam kondisi marah.

"Meirisa melarangku untuk memberitahu Ayahnya, bahwa aku berhasil menemukan dia. Entah apa alasannya, aku tidak mengetahui itu hingga sekarang. Satu hal yang pasti, ia mengajakku untuk bekerja sama lagi. Melakukan hal yang lebih dari yang kami kerjakan saat kecil dulu. Tidak jauh berbeda dengan yang kau lakukan sekarang, mengumpulkan banyak harta dari otak kecil mu."

"Apa... yang Dia lakukan setiap harinya?" tanya Deriell akhirnya membuka suara.

"Tidak banyak. Di pagi hingga siang hari, ia adalah wanita manis yang membantu para suster di gereja dan mengajari anak-anak panti asuhan. Sore hari ia akan berjalan-jalan di pinggir pantai. Dan malam hari akan tampil di setiap cafe untuk bernyanyi. Menjelang pagi hari, pekerjaan utamanya sudah selesai begitu saja,"

"Dia lebih sering mengerjakan semuanya sendiri dalam ruangan yang hanya bisa ia akses. Tugasku hanya bertemu para client, lantas mengumpulkan seluruh aset yang Meirisa miliki. Tak terhingga jumlahnya saat itu."

"Bertahun-tahun berlalu. Umurku saat itu dua puluh enam tahun. Bekerja selama beberapa tahun di samping Meirisa mengajariku banyak hal. Termasuk kehidupan. Hingga akhirnya aku memilih untuk kembali ke Paris, menikahi Ratu, istriku, dan memiliki keluargaku sendiri. Meirisa membiarkanku pergi, berkata bahwa kehidupanku tak boleh sama dengan miliknya. Saat itu, Meirisa tidak terlalu memikirkan tentang harta yang ia dapatkan. Berpikir bahwa ia tidak akan memiliki keturunan. Jadi, aku memutuskan untuk mengumpulkan suluruh harta itu pada sebuah berangkas," Axel menoleh pada Deriell. "Itu adalah berangkas berbeda dengan yang kau temui di sini. Berangkas itu di isi tiga kali lipat lebih banyak."

"Kalian bisa mengatakan aku adalah pengusaha kaya raya, salah satu dari sembilan naga," Axel berdecih kecil dan tertawa. "Nyatanya, Meirisa memiliki empat puluh persen lebih banyak dibandingkan pendapatan bersihku."

"Namanya tercatat pada setiap perusahaan besar di dunia ini. Pekerjaan yang dulu ia pernah tanam, kini semakin berkembang di atas sebuah saham. Aku membantunya hingga sekarang. Membuat harta itu terlihat seperti amoeba yang terus membelah diri."

Axel menunduk kecil. Menjilat bagian bawah bibirnya. "Sayangnya, tanpa aku ketahui. Saat aku meninggalkan Meirisa kala itu, ia sedang mengandungmu. Dan itu jugalah saat Meirisa kembali ke Vatikan, dan menyebabkan Dario marah karena Meirisa memilih pergi bersama Mahanta. Ia memilih untuk melepaskan marga miliknya, dan kembali menghilang."

"Seperti yang kau dengar dan cari tahu. Bedebah Mahanta itu hanya mengincar harta keluarga milik Meirisa. Dan ketika tahu bahwa Meirisa memilih melepaskan segalanya, keluarga Mahanta menjodohkannya dengan Yumna. Tapi, terlepas dari hal itu semua, Mahanta sangat mencintai Meirisa."

Axel sedikit memelan ketika mengucapkan kalimat terakhir. "Aku tahu kau sangat membenci Mahanta. Tetapi, ia adalah satu-satunya pria yang sangat dicintai oleh Meirisa, pun, begitu juga sebaliknya. Keduanya dipisahkan oleh keadaan, bukan karena perasaan. Ayahmu, bajingan itu, ia harus berakting bahwa ia membencimu, hanya agar Yura membiarkanmu hidup di dekatnya. Aku tahu ia sangat terpukul kala mengetahui Meirisa pergi malam itu-"

Axel menatap Deriell yang sedikit menegang. Tampak wajah lelaki itu cukup tak bersahabat saat ini. "Yura adalah satu-satunya yang bertanggung jawab atas kepergian Meirisa malam itu. Mahanta sedikit banyak tahu bahwa Meirisa memiliki setidaknya satu pekerjaan lain sebelum mereka menikah. Ia sudah memperhatikan Yura sejak saat itu. Mahanta juga menikahi Yumna dan membuat wanita itu tergila-gila pada Mahanta, agar membuat Yura takut. Mahanta bisa membunuh Yumna kapan saja."

"Malam itu, ketika tabrakan maut itu terjadi. Sebuah truck lah yang membuat kalian mengalami kecelakaan mengerikan. Bertahun-tahun pula aku habiskan untuk mencari tahu penyebab kecelakaan tersebut."

"Aku datang malam itu, karena perasaan yang tidak enak selama berhari-hari. Meirisa masih hidup saat itu, ketika aku membawanya masuk ke dalam mobil. Tapi ketika aku hendak mengeluarkanmu, kau sudah menghilang. Aku tidak bisa mencari lebih lama, dan harus membawa Meirisa pergi segera. Dan hal yang baru aku ketahui adalah, para suster dan pastor dari gereja itu yang membawamu pergi."

"Meirisa selamat. Ia bertahan selama beberapa bulan, meski dalam keadaan koma. Dan selama beberapa bulan itu, aku tetap tidak bisa menemukanmu. Satu tahun lagi aku habiskan untuk menjaga Meirisa, membiarkan keluargaku tinggal di Italia selama beberapa saat. Satu-satunya hal yang aku dengar adalah Mahanta membawa mu ke Indonesia. Dan aku tidak bisa menghentikannya."

"Dan baru beberapa bulan lalu, aku mendapatkan kabar bahwa nama Sang Rubah kembali muncul kepermukaan. Aku berusaha mencari tahu, siapa sosok yang berani memakai nama itu? Berusaha sekuat mungkin, dan akhirnya? Aku menemukanmu. Sosok lelaki jenius dan keras kepala. Aku bahkan bisa mengenalmu dengan baik saat melihat mata sialan itu."

Deriell terdiam selama beberapa saat. Hingga akhirnya kepala lelaki itu terangkat dengan kening mengerut sempurna. "Mama.. dia masih hidup?" Deriell kini menyadari hal itu, sebab Axel tidak pernah menyebutkan saat kematian Meirisa.

Dan anggukan kepala Axel berhasil membuat Deriell menegakkan badannya. Meski jawaban Axel sedikit membuat Deriell gentar.

"Di mana?!"

Kini Axel menggeleng kecil, sembari menghembuskan napas. "Terakhir kali aku dapatkan kabarnya, ia sedang berada di gereja Tropea, tepat di sisi tebing. Pemandangan laut biru. Tempat yang sama, di mana berangkas milik Meirisa berada. Dia berada di sana, dua tahun lalu."

Axel menahan tangan Deriell yang tanpa sabar ingin segera meninggalkan tempat mereka. Membuat lelaki itu menatap Axel dengan wajah keras. Jelas saja, penantian selama belasan tahun ini harus segera ia akhiri. Pencarian itu sudah berakhir, sesuai kepercayaan Deriell. Bahwa Meirisa masih hidup.

"Ibumu sudah meninggalkan Tropea di hari dia mengabariku. Pun, hanya ada satu akses yang bisa kau gunakan untuk menuju Tropea saat ini. Kota itu dimiliki oleh Meirisa. Tidak ada satupun turis yang bisa memasukinya dengan mudah."

"Bagaimana?" desak Deriell tak sabaran.

"Pesawat milik Meirisa, di hanggar pribadi Tuan Morey. Hanya itu satu-satunya jalan agar kau bisa memasuki Tropea," Axel melepaskan pegangannya dan menatap Deriell yang kini mengusap wajahnya kasar. "Kau bisa saja pergi ke Tropea sekarang, tetapi, kecil kemungkinan kau akan bertemu dengannya."

Deriell mengetahui hal itu. Sedikit saja terbetik kabar tentang kedatangannya di Tropea, boleh jadi Meirisa sudah meninggalkan kota itu sesegera mungkin, atau bahkan membuat pesawat Deriell gagal mendarat. Wanita itu jelas menghindari Deriell selama ini. Sebab, ia tak pernah mencari keberadaan putranya. Meirisa selalu tahu di mana dan apa yang sedang di lakukan Deriell. Jika ia ingin menemuinya, sudah sejak lama Meirisa menampakkan diri di sana.

Pertanyaannya adalah, kenapa Meirisa menghindarinya? Namun ada satu hal lagi yang Deriell sadari sejak awal cerita Axel di mulai. Ia segera mengangkat kepalanya kembali.

"Apa hasil pencarian anda selama ini?" desak Deriell tanpa sabar. "Berapa kali anda menyebut nama Yumna sejak tadi."

Axel ikut menatap mata Deriell kembali dan mengangguk sekali. "Yumna adalah sosok di balik kecelakaan itu terjadi. Iri hati, sebab Mahanta lebih menyayangimu lebih dari siapapun."

Pria berumur awal empat puluh itu sedikit menegakkan tubuhnya. "Death Crew, adalah orang yang bekerja sama di balik pembunuhan berencana tersebut."

Sontak saja ucapan Axel berhasil membuat Deriell menaikkan sebelah alisnya. Bahkan, hal tersebut membuat Axel sedikit terkejut. Mengapa ekspresi Deriell hanya setenang itu?

Deriell kembali melemaskan tubuhnya. Dan menyandar tenang. "Saya mengetahui jika kemungkinan salah satu penyebab kecelakaan itu adalah Death Crew. Tapi saya tidak menyangka jika dugaan itu benar. Jauh sekali crew lokal seperti mereka bermain di ranah Vatikan dan Tropea." Lelaki itu mendengus sinis, "Jika memang benar Death Crew terlibat, sudah pasti pelaku sebenarnya berasal dari negara yang sama. Pertanyaan, mengapa itu harus Yumna? Sekalipun ia salah satu tersangka yang harus di masukkan dalam list."

"Bukankah aku sudah bilang, jika aku melakukan pencarian tentang ini?" Axel menyalakan rokoknya, "Tak apa jika merokok, bukan?"

Deriell menggerakan sebelah tangannya kecil. Mempersilakan. "Tidak ada yang melarang." Sekalipun tanda dilarang merokok ada di samping mereka.

"Kau sudah pernah mendengar jika Meirisa pernah bekerja sama dengan seseorang untuk menjatuhkan sebuah perusahaan?" buka Axel kembali setelah menghembuskan asap ke udara.

"Ada dua perusahaan. Siapa yang menyerang siapa?"

"Darzel menyerang morey." Deriell menggerakkan kepalanya kecil, ketika Axel menjentikkan rokoknya dan membuat sampah abu di atas meja. "Gerakan balas dendam. Yumna dan Darzel adalah partner dalam pekerjaan. Bukankah sebuah kebetulan menarik? Ketika Darzel sering bekerja dalam gelap?"

Axel memajukkan tubuhnya sesaat dan tersenyum kecil. "Dan tebak, siapa yang bekerja sama dengan Darzel?"

"Defender."

"Dan Mahesa adalah kunci." Axel mengangguk puas. Pekerjaannya selama bertahun-tahun akhirnya tersalurkan juga.

Deriell yang mendengar nama Mahesa disebut, pun, akhirnya mulai serius dalam percakapan. Setidaknya, reaksinya lebih terlihat saat ini. Bahkan mata itu semakin melengkung tajam.

"Mahesa? Darimana anda yakin?" Deriell mengangkat sebelah alisnya mengejek. "Bukankah anda juga bekerja sama dengan mereka? Sebagai Dominic."

Mendengar nada ketus itu jelas membuat Axel tertawa lepas. Ia bahkan hingga menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak bekerja dengan sembarangan, nak. Apapun yang tidak menguntungkan, akan aku singkirkan. Menurutmu, kenapa aku mendekati Death Crew, disaat era ku sudah selesai? Jelas aku sudah cukup sibuk saat ini."

"Aku dan Meirisa berhubungan dengan baik, nak. Apapun yang menghancurkan Meirisa, maka aku akan membaliknya. Dulu, dia yang membuatku berjaya seperti saat ini. Tanpa dia, aku dan perusahaanku hanya tinggal nama. Setidaknya, jika aku tidak bisa membantu kalian bersama, aku bisa membalaskan dendamnya."

Axel memberikan sebuah berkas yang memberikan bukti kuat atas apa yang sebenarnya terjadi. Cukup lama Deriell membaca setiap penjelasan, dan foto yang terlampir. Meskipun sedikit, namun sangat jelas dan juga masuk akal. Saling berhubungan. Itu adalah informasi yang sangat akurat. Tangannya sempat meremas ujung kertas, sebab Mahesa adalah nama yang sangat ia hindari.

"Baiklah, sepuluh orang jenius, apa yang anda inginkan?" tanya Deriell akhirnya pada maksud awal Axel tersebut.

"Caramu menghancurkan Death Crew."

Deriell mendengus sinis dan menggeleng. Ia ikut mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. "Dazler dan Defender yang bertanggung jawab, aku bisa langsung membunuhnya malam ini. Itu alasan cukup bagus untuk saya akhirnya keluar dari penjara."

"Percuma jika melakukan pembunuhan. Kesenangannya hanya sesaat." Axel mematikkan puntung rokoknya di ujung meja, "Untuk apa aku masih berdiam diri saat ini, jika ujungnya hanya melihat putra Meirisa membunuh seseorang?"

"Itu alasan anda menjaga Death Crew hingga saat ini?"

Axel mengangguk, menatap sekitar, sebelum akhirnya mendekatkan diri pada Deriell. "Sepuluh orang jenius yang kamu kumpulkan, mereka adalah kunci untuk menghancurkan Death Crew. Sembilan orang itu, tambahkan denganmu adalah mesin pembunuh yang sesungguhnya."

"Jika ada yang perlu kau curigai lebih lanjut, itu adalah Mahesa dan crewnya, Bigboss. Darzel adalah sosok yang berada di balik crew D. Karena yang aku ketahui hingga saat ini, Darzel mempertahankan pesawat itu di hanggar Morey, agar bisa membawanya pergi. Tanpa Morey bisa mencegah."

Tatapan keduanya semakin beradu tajam. "Jika kau ingin menghancurkan pebisnis, maka hancurkan apa yang dia bangun."

Deriell sedikit menggerakkan kepala, membuang asapnya ke arah kanan. "Anda inginkan saya untuk bergabung dengan Defender, agar bisa menghancurkan Mahesa?"

"Tidak," Axel kembali menyandar santai. "Hancurkan Death Crew, dan apa yang mereka bangun. Bisa kau pikirkan, empat crew itu memiliki semua pekerjaan yang kamu jalankan, bukan?"

"Tapi, berawal dari Mahesa. Maka akan mudah bagimu untuk menyelesaikan sisanya," sambung Axel menutup tujuannya datang. "Dan kamu punya alasan baik untuk hancurkan mereka, atas kecelakaan masa lalu."

"Dengan cara?" tanya Deriell.

"Membuat Mahesa bertekuk lutut lebih dulu. Usik semaknya, kejutkan ularnya."

Deriell mendengus. Mematikkan puntung rokoknya dan menyilangkan tangan di dada. "Keduanya adalah ayah Adhista. Menghancurkan Darzel, sama dengan menghancurkan hubunganku dengan Adhista."

"Apa yang kamu harapkan? Dalam hal seperti ini, cinta hanya akan merusak rencana. selesaikan masa lalumu, atau pilih kekasihmu, nak." Axel menatap mata Deriell dengan penuh tekanan. "Darzel bertanggung jawab atas kecelakaan Meirisa. Di mana Ibumu berada saat ini, boleh jadi dia mengetahuinya."

"Lantas bagaimana dengan Yumna?"

"Mudah saja. Jika kau menginginkannya, aku akan mengurus keluarga kecil itu."

Deriell menatap jam dinding. Lewat tengah malam. "Urus saja, tapi setelah aku bertemu dengan tuan Mahanta."

Axel memiringkan kepalanya kecil. Sebelumnya ia menatap langit malam dari jendela yang tidak tertutup tirai. "Mahanta, dia masih hidup? Bukankah hukuman matinya jatuh berbulan-bulan lalu? Di mana dia sekarang?"

Pertanyaan beruntun itu hanya membuat Deriell mendengus geli. Ia menepuk lututnya, lantas berdiri sembari membawa berkas yang diberikan Axel.

"Anda tidak mengetahui saya dengan baik, tuan Dominic," tutupnya sembari berjalan meninggalkan Axel yang masih menyalakan satu batang lagi rokoknya. Menatap punggung tegap itu menghilang dari balik pintu.

***

DERIELLA | NEW VERSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang