Epilog; Tetap Berjalan

199 15 2
                                    


-Happy Reading-



































Setiap kehidupan pasti akan bertemu dengan kematian, hidup yang di jalani sebahagia apa pun pasti akan menemui akhir nya. Namun, yang di tinggal kan lah yang masih belum bisa melepaskan.

Melepas berarti lupa, tapi bisa kah lupa jika sosok itu adalah yang selalu ada saat kita butuh?

Jawaban nya pasti sulit, tapi sebaik apa pun orang nya kita harus bisa melepas. Tetap mengingat tampa berlarut-larut, mengenang tiap kenangan dan ucap nya tapi tidak dengan meminta nya kembali.

Setahun sudah terlewati, dan dari banyak nya air mata yang luruh. Ada satu hari di mana tangis Elvan luruh tampa suara.

Di mana saat Ia mendapat info bahwa sudah ada donor jantung untuk adik nya langsung dari Adika.

Dan saat tau jika pendonor nya adalah Fandy sendiri, malam itu juga Elvan benar-benar tidak tau tangis nya karena apa. Sakit karena Fandy berpulang, atau bahagia karena adik nya masih bisa bertahan hinga bertahun-tahun ke depan.

Mengusap nisan yang ada di hadapan nya, senyum nya lantas mengembang.

"Dan tunggu waktu nya tiba ya El, Alvin akan ada sama lo dalam waktu yang lebih lama."

Kata terakhir yang Elvan dengar saat itu masih basah rasa nya, seperti baru kemarin Fandy mengatakan itu. Tapi, waktu sudah berlalu begitu cepat setelah hari itu.

"Gue ngak pernah nyangka maksud lo waktu itu adalah dengan mendonorkan sesuatu untuk Al, Fan." Ucap Elvan.

Menjadi kata pertama yang mengudara di antara ke tiga nya, Adika serta Pram yang telah selesai dengan doa mereka menatap lekat Elvan yang ternyata masih enggan melupa.

"El..." panggil Adika.

"Ngak papa Di, gue udah ikhlas, ya biarpun belum sepenuh nya. Siapa coba yang bisa lupa sama orang yang dari dulu bahkan hanya mementingkan orang lain."

"Fandy pernah bilang sama gue, kalau semisal dia udah nemuin perempuan yang bisa di jadikan rumah dia akan selalu jaga. Tapi, liat deh sekarang dia jaga nya malah dari atas." Sambung Elvan.

Adika serta Pram tau betul kekehan yang keluar dari Elvan hanya bersifat semu.

"Emang yang punya penyakit mental bisa jadi dokter?"

"Bisa. Kenapa tidak bisa? Saya yang punya sakit saja bisa menjadi seorang psikiater."

Ingatan itu kembali teringat oleh setiap daksa yang ada di sana, bagaimana saat keempat nya berkumpul di kantin. Terus ada seorang ibu-ibu yang lewat bertanya ketus seperti itu dengan lawan bicara nya, dengan lantang Fandy menjawab tampa memandang rendah si ibu.

Setiap kali mereka bertiga ingat momen itu selalu saja kekehan yang keluar guna menyamarkan air mata yang hendak luruh.

"Fandy adalah sosok yang sama sekali ngak bisa orang lain tiru. Dia berani tampil beda, meskipun nyembunyiin suatu hal yang besar tetap berpenampilan seperti orang sehat pada umum nya. Selalu bilang ngak papa seakan-akan ngak ada yang terjadi."

JAS DOKTERWhere stories live. Discover now