Bagian 7

1.6K 12 0
                                    

BAGIAN 7
POV DIMAS

Ponselku lalu berdering. Ada telepon masuk dari Greta. Terpaksa aku mengangkatnya sambil masih berbaring di atas kasur kapuk tipis yang warna alasnya sudah berubah dari merah menjadi kehitaman saking lamanya dan kotornya.

“Dim ….” Suara itu memanggil lirih. Ada isak yang menyeruak.

“Apalagi?” Cuek. Begitulah aku kalau sudah disakiti.

“A-aku … minta maaf,” ucapnya. Nada itu memohon.

“Tidak perlu minta maaf segala. Memangnya, apa salahmu?”

“A-aku … salah, Dim-dim.”

“Tidak usah memanggil namaku begitu lagi. Kita hanya teman biasa!” Kedengarannya memang kasar. Cuma, aku sudah tidak peduli juga.

“M-maaf.”

“Pergilah ke Jogja. Tes dan buktikan kalau kamu bisa menembus universitas negri terkemuka di sana. Jangan pernah mengingat janji-janji yang pernah kita buat.”

“T-tapi … kita tetap berteman, kan?” Greta terdengar sangat berharap. Dasar plin-plan, pikirku.

“Tidak perlu. Mana ada pertemanan antara laki-laki dan wanita? Semua tentu akan dibumbui dengan rasa. Perempuan seterhormat kamu tidak boleh memiliki rasa kepada anak kuli sepertiku—”

“Dim, stop! Jangan ungkit itu. Aku sudah minta maaf, Dim!” Greta terdengar berteriak. Suaranya berubah jadi parau.

“Aku tidak bisa melupakan omonganmu, Ta. Sudahlah. Biarkan aku sendiri dulu. Aku pusing!” Aku balik membentak.

“A-aku … rindu kamu, Dim.”

Aku menelan liur. Perempuan aneh. Tidak jelas!

“Kamu itu aneh. Sebentar bilang begini, sebentar bilang begitu. Apa maumu, Ta? Kau ingin memaksaku untuk kuliah dan tinggal di Jogja agar kita satu kota? Kamu mimpi! Aku tidak bisa melakukannya.”

“Bisa, Dim. Aku akan bujuk Papa supaya mau membiayaimu. Bagaimana, Dim?”

Aku menggeleng. Apa sih, maunya para perempuan ini? Setengah mati mengusahakan aku untuk bisa masuk dalam hidupnya mereka.

Sehebat apa seorang Ardimas di mata Greta maupun Madam Rosa? Mereka bisa cari laki-laki terbaik di kota ini. Ngotot sekali untuk memintaku. Tidak jelas!

“Jangan repot, Ta. Papamu akan marah dan jijik kepadaku. Aku tidak akan berkuliah. Jangan paksa-paksa aku lagi.”

“A-aku c-cin-ta padamu, Dim. Aku sayang! Gimana bisa aku kuliah di sana tanpa ada kamu? Aku nggak sanggup.”

“Jangan drama. Itu hanya omong kosongmu. Setelah punya kawan baru, bahkan pacar yang levelnya sepadan, kamu akan mudah melupakanku. Percayalah!”

Hanya suara isakan Greta yang terdengar di ujung sana. Aku sebenarnya masih punya hati. Tak tega. Akan tetapi, aku sangat geram pada Greta. Masih teringat jelas akan ucapannya di perpustakaan. Entah hingga kapan geram itu mendera.

“Kamu jahat,” lirihnya setelah lama menangis.

“Iya. Aku memang jahat. Terus, kenapa kamu masih meneleponku? Aneh!”

“Kamu nggak paham sama perasaanku, Dim. Semoga nanti, kamu tahu sakitnya cinta sama orang yang keras kepala dan susah dibilangin!”

“Aku nggak akan mencintai perempuan mana pun. Kalian itu makhluk ribet!” Tanpa sadar, ucapan kasar itu keluar dari mulutku.

“Oh, ya? Semoga kamu nggak kemakan omongan sendiri, Dim. Ingat, ya. Setiap hati yang kamu sakiti, itu akan menuntut balas di kemudian hari.”

“Omong kosong. Jangan terlalu banyak membaca novel kamu. Pikiranmu jadi aneh!” olokku dengan senyum sinis.

Gairah Liar Sang Kuli TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang