BAB 2. GULA-GULA SI GELEMBUNG

43 9 4
                                    



Lentera kumbangnya bergoyang, menerangi jalan ke arah hutan pinus. Saat ini pukul lima pagi, jalanan hutan diterangi bunga Astarea Hibiscus, memanjang sebagai petunjuk arah. Caelum sudah akrab dengan air terjun. Tempat tersebut menjadi favoritnya selama berada di Camp Starborn. Di dasar air terjun banyak berserakan batuan bintang berbagai warna. 

Di sebelah selatannya terdapat kolam dengan pinggiran patung angsa. Tempat itu sejujurnya sangat terkenal karena dapat mengabulkan permohonan secara ajaib. Sayangnya, hanya orang terpilih yang boleh melemparkan batuan bintang ke sana.

Caelum menyimpan lenteranya.  Percikan air yang jatuh terdengar menenangkan, udara dingin menyentuh kulitnya yang kasar, membuainya dengan rasa aman yang pahit.

Ia bergegas melakukan pernafasan tiga titik. Memejamkan kedua matanya, menyelaraskan seluruh tubuh dengan alam sekitar, mengumpulkan semuanya di satu titik dalam hatinya. Saat debaran jantungnya meningkat, tato lotus hitam di tangannya yang terpotong memanas.

Caelum mengayunkan pedang rampingnya dengan tegas. Pedangnya adalah pedang lengkung, elastis, dan mudah digerakkan. Di tangannya yang kasar pedang itu sama sekali tidak terlihat indah. Hanya menjadi tegas dan tajam, memotong satu bagian tanpa ragu-ragu. Pada beberapa putaran Caelum menyalurkan mana pada pedang tersebut, membuat pendar kebiruan singkat sebelum ledakan energi yang cukup besar mendorongnya masuk ke dalam air  berulang kali.

Ia tersengal, nafasnya memburu, kesal.

Caelum tahu ia bukan seorang pengendali pedang atau petarung hebat. Akan tetapi menyalurkan mana pada pedangnya kenapa begitu sulit, lebih mudah membuat ruang pengobatan—Floating Lotusnya. Daripada bermain dengan pedangnya.

Saat Caelum menyeret tubuh basahnya ketepian. Suara cicitan makhluk kecil akhirnya mengusiknya.

“Siapa di sana?” tanya Caelum waspada.
Setelah mendekat ke arah batuan sempit. Caelum bisa melihat dua mata bulat hitam dalam selaput kulit transparan. Tubuhnya bercahaya keemasan seperti ikan kecil dalam gelembung berlendir. Caelum hanya menatap gelembung itu dengan jijik. Sebelum darah merembes keluar dari tubuh mahluk aneh tersebut.

“Berdarah!” ucapnya terkejut, “hey, berudu kecil. Siapa yang melukaimu?” tanyanya hati-hati. Ia berjongkok di depan hewan sekarat tersebut sebelum menyodoknya dengan tangan kosong. Pedang lengkungnya yang terlempar tergeletak tidak jauh dengan darah segar pada bilahnya. Di arah semak-semak sekelompok Vannkatt—kucing air menatap si gelembung dan dirinya.

Caelum mengangguk mengerti, “Pedang yang tajam, dan nasib buruk rupanya. Harus hati-hati lain kali. Sebagai permintaan maafku, biarkan aku mengobatimu.” Ia dengan cekatan memekarkan Floating Lotus, membuat takut para kucing yang terlihat manis dimatanya.

Caelum menjatuhkan gelembung transparan tersebut, mengunci di dalam bunga lotusnya. Mengobati hewan liar yang lemah tidak membutuhkan banyak usaha, bahkan Caelum berhasil bergulat dengan kucing air disela menunggu Floating Lotusnya terbuka.

Saat bunga lotus transparan itu mekar, memuntahkan gelembung sehat yang sangat lincah. Satu kata yang keluar membuat tubuh Caelum membeku.

“Ayah! Ayah!” ucap suara kecil. Gelembung itu bergetar bahagia, mencoba menempelkan tubuh transparannya pada paha Caelum yang berotot.

Alisnya langsung merajut, kepalanya mendadak pusing, wajahnya yang sangar merah, dan tubuhnya bergetar hebat. Ia menyesal dengan sepenuh hatinya melebihi apa pun karena menjadi sensitif sehingga menolong gelembung sekarat itu.

Lihat akibatnya sekarang, rutuk Caelum dalam hatinya.

Pada dasarnya gelembung adalah roh Nereid atau Nimfa air yang masih sangat kecil. Wajar jika menjadi mangsa para Vannkatt atau mahluk magis lain. Masalahnya Caelum tidak terlalu menyukai hewan licin selain ikan yang biasa ia makan, ditambah gelembung itu mirip berudu katak dengan ukuran bola kristal ekstra besar.

“Lepaskan, aku bukan ayahmu! Atau aku akan memukulmu!” protes Caelum, mencoba menepis hewan tersebut dari pahanya.

“Ayah.”

“Siapa ayahmu, hah!” protes Caelum.



***


Remaja itu merenggut, awan gelap menggantung di wajahnya. Ia tergesa berjalan melewati pepohonan, merapatkan pakaiannya dengan satu tangan, menyembunyikan hewan kecil yang bergelayut senang. Saat mencapai pinggiran hutan pinus, matanya menyipit. Alisnya yang tebal terangkat, heran.

Kekacauan total bisa ia lihat di mana-mana. Banyak pohon tumbang dengan tanah retak tidak wajar. Di tengah kekacauan remaja kurus tergeletak tidak berdaya, bernafas dengan sulit. Sekali lihat saja Cae tahu remaja tersebut telah menguras mana-nya sampai habis.

“Anak pondok mana lagi yang bertingkah bodoh,” erang Caelum frustasi. Ia menghampiri remaja tersebut, menyenggol tubuh kurus dengan kakinya. “Hey, kamu mati, ya?” tanyanya serampangan. Remaja itu hanya membuka matanya dengan linglung sebagai tanggapan.

“Kamu terlalu berlebihan, energimu bahkan berceceran. Aku akan memberi pertolongan pertama, jangan banyak protes pokoknya jika ingin tetap hidup.” Dengan pernyataan itu sekali lagi Caelum memekarkan bunga lotusnya. Menyeret remaja kurus yang terkejut masuk tanpa aba-aba.

Lima menit setelah bunga itu memudar, remaja itu menatapnya rumit.
“Jangan bilang apa pun. Aduh, aku sudah pusing. Hey, pergi saja menghadap ke Kepala Pengawas Perkemahan, aku ada urusan, duluan ya,” ujar Cae, melarikan diri ke arah perkemahan.

Starborn: Stellae DomumWhere stories live. Discover now