Semua Sudah Menjadi Takdir

1 0 0
                                    

Malam itu sangat mencekam terdengar suara gemuruh petir di tambah lagi hujan yang begitu derasnya. Ayah merasa sangat panik ketika maelihat ibu mengeram kesakitan karena ingin melahirkan aku. Ayah pergi keluar untuk meminta bantuan namun tak ada satu pun yang bisa menolongnya, mungkin karena hujan sehingga warga enggan untuk menolong ayahku. Pada akhirnya ayah terpaksa membawa ibu ke rumah sakit dengan mobil yang ayah pinjam dari tetangganya. Untung masih ada yang mau meminjamkan mobilnya kepada ayah.

Setibanya di rumah sakit ayah langsung membawa ibu ke suster jaga dengan cara menggendongnya. Suster yang melihat itu kemudian segera mengambil tempat tidur beroda lalu menyuruh ayah untuk membaringkan ibu di atasnya.

Setelah menunggu sekitar dua jam tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang bayi dari dalam kamar. Ketika itu air mata ayah tidak dapat di bendung lagi, dia menangis sejadi-jadinya saat suster membawa bayi itu kepadanya. Kemudian ayah segera mengazani bayi itu, suaranya terdengar sangat lirih menambah keharuan suasana saat itu. Ayah membawa bayi itu kepada Ibu. Saat itulah pertama kalinya Ibu melihat wajah cantiknya dari dekat. Ayah dan Ibu memberi namaku Fatimah, karena berharap kelak bayi kecil itu menjadi anak yang sholeha dan menjadi kebanggan orangtua.

~~~~

Tujuh belas tahun kemudian.

Aku fokus menatap televisi sementara Ibu dan Ayah membahas kampus yang baik untukku, hampir semua kampus di sekitar tempat tinggalku sudah Ayah dan Ibu pertimbangkan. Aku tidak ingin ikut campur masalah itu karena aku percaya apa yang Ayah dan Ibu pilih adalah yang terbaik. Perbincangan itu berlanjut hingga pukul sepuluh malam. Sepertinya mataku sudah merasa kantuk yang luar biasa sehingga membuatku tertidur di sofa.

Ayah yang melihat ku sudah terlelap segera menggendong lalu membaringkan tubuh ku ke tempat tidur, sementara Ibu yang menyelimutiku dan saat itu aku masih setengah sadar belum sepenuhnya tertidur. Ibu dan Ayah bergantian mencium kening ku sambil berkata, selamat tidur sayang, semoga mimpi indah, setelah itu mereka pergi meninggalkan ku. Kalimat indah itu akan membawaku ke dalam mimpi yang benar-benar indah. Aku sangat bersyukur hadir di tengah-tengah mereka berdua yang sangat menyanyangiku.

Pagi harinya setelah selesai sholat subuh aku keluar kamar dan melihat sosok wanita yang sangat aku kagumi tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Aku berlari kecil kemudian memeluknya dari belakang.

Pagi, Bu.

Pagi, sayang.

Seperti biasa ibu selalu menyuruh ku untuk duduk setiap kali aku ingin membantunya. Walau tubuhku masih sangat kecil saat itu tapi aku sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah tahu. Ibu sepertinya tak membiarkan aku untuk membantunya. Ibu, sekali ini saja, aku bantuin yah, kataku.

Tidak usah sayang, biarkan ibu saja yang melakukannya, balas ibu dengan lembut.

Aku hanya bisa terdiam tanpa harus bereaksi berlebihan, aku tak mau melawan perintahnya karena di sekolah aku diajarkan agar tidak membantah apa pun perintah dari orang tua jika itu baik. Aku taruh kepala ku di atas meja dan ku lihat setiap gerakan ibu yang terus saja mondar-mandir.

Ibu tidak lelah? tanyaku kembali.

Ibu menatap ku dengan senyum di wajahnya. Ibu tak akan pernah lelah untuk merawat mu sayang.

Aku benar-benar beruntung memiliki malaikat tak bersayap dalam hidupku. Setiap langkahku pasti akan selalu ada doa dan harapan yang selalu ia langitkan.

Makasih, Bu.

Sama-sama, sayang.

Kata-kata itu membuat ku berpikir, bagaimana bisa aku hidup tanpa ibu di samping ku? Mungkin aku akan kehilangan arah tanpanya. Ibu, aku sayang banget sama ibu, kataku sembari kembali memeluknya.

Ibu lebih menyanyangi mu lebih dari apa pun, balasnya lembut.

Ketika aku hendak ke kamar karena ibu menyuruhku untuk mengganti pakaianku. Ayah tiba-tiba keluar kamar dengan wajah sedih. Ayah ada apa? kataku. Bukannya menjawab pertanyaan dariku, ayah malah membelai rambutku lalu mencium keningku. Tak ada apa-apa, sayang. Ayah kembali memintaku agar cepat bersiap-siap. Aku tak mau melawannya sehingga aku pun masuk ke kamar kemudian bersiap. Ayah pasti menyembunyikan sesuatu dari ku, gumamku sambil memakai seragam sekolah.

Selama perjalanan mengantarkanku ke sekolah ayah yang biasanya mengajak bicaraku sekarang hanya diam focus mengemudi. Padahal aku banyak bercerita ke ayah tapi ayah balas hanya oh begitu, yah, tak ada kata-kata yang lain. Suasana kembali hening ketika ayah mendapat telepon dari seseorang.

Kali ini, aku harus pergi sendiri padahal biasanya ayah mengantarkanku sampai depan kelas tapi untuk hari ini ayah malah memilih pergi setelah menurunkan aku di depan gerbang sekolah. Sungguh aneh, bukan?

~~~~

Sesampainya di kantor.

Seluruh karyawan tempat Pak Hasan bekerja semua memintanya untuk segera mengeluarkan surat keputusan bahwa mulai hari ini dan selanjutnya Pak Hasan tidak akan lagi bekerja di PT. ANGKASA. Pak Hasan di tuduh telah menggelapkan uang perusahan padahal berkali-kali Pak Hasan sudah menjelasakan jika ia tidak tahu sama sekali tentang hilangnya uang perusahaan. Namun karena tak ingin membuat semua merasa khawatir atas kehadiran Pak Hasan di kator, ia pun memutuskan untuk segera menyerahkan surat pengunduran diri lalu pergi.

Bagimana nanti kita hidup? Katanya dalam hati. Tak mungkin Pak Hasan menceritakan semuanya kepada Fatimah. Fatimah saat ini harus fokus pada ujian akhirnya karena itu akan menentukan nasibnya. Fatimah juga masih sangat muda untuk bisa memahami masalahnya saat ini. Pak Hasan hanya bisa merutuki dirinya sendiri dengan keadaannya yang seperti ini.

~~~~

Lonceng pertanda waktunya pulang pun sudah dibunyikan. Semua murid berhamburan keluar kelas termasuk aku yang sangat bersemangat untuk pulang. Aku menunggu ayah di depan gerbang sekolah, karena itu sudah menjadi kebiasanku, ayah akan menyempatkan diri untuk bisa menjemputku pulang. Namun sudah tiga puluh menit berlalu aku berdiri tapi entah kenapa sampai sekarang ayah belum juga muncul. Mungkin perjalanan ayah terganggu karena macet, batinku. Aku menyakinkan diriku sendiri jika semua akan baik-baik saja.

Tak lama kemudian sebuah mobil berwarna putih berhenti di depanku. Aku kira itu mobil ayah namun ternyata orang lain yang keluar dari dalam mobil tersebut. Yah, dia bibiku namanya Tante Mira. Tante! kataku. Tante Mira menatap sedih ke arahku seakan-akan telah terjadi sesuatu. Ada apa Tante? tanyaku.

Ayah kamu kecelakaan.

Seketika tubuhku ambruk ke tanah. Aku tak pernah menyangka akan mendengar berita seperti ini. Aku menangis sejadi-jadinya dan Tante Mira pun berusaha menenangkan aku. Di gendongnya tubuhku kemudian langsung membawaku ke rumah sakit di mana ayahku di rawat.

Sesampainya di sana. Ku lihat Ibu yang tengah memandangi tubuh ayah dari balik jendela dengan air mata yang mengalir deras. Ibu, panggilku. Ku berlari ke arahnya lalu memeluknya. Ayah akan baik-baik saja kan, Bu? tanyaku. Ibu hanya mengangguk seraya berkata, Ayah pasti akan sembuh. Kata-kata yang terucap dari Ibu memberiku sedikit ketenangan.

Sekitar tiga puluh menit sudah kita semua menunggu kabar dari dokter yang menangani ayah. Tak lama kemudian dokter pun keluar. Dokter menjelaskan semuanya kepada Ibu dan Tante Mira semenatara aku hanya melihat mereka berbicara karena aku tak diperbolehkan untuk mendengarnya dan Ibu menyuruhku untuk menunggu.

Bagaimana Bu? tanyaku ketika mereka kembali.

Ayah Koma, balas Ibu dengan raut wajah sedih.

Aku tak lagi bisa berbicara hanya air mata yang aku punya untuk menunjukkan betapa sedihnya aku saat ini orang yang paling aku sayangi kini hanya terbaring lemah tak berdaya. Aku tahu semua ini sudah menjadi takdir yang harus aku dan Ibu hadapi. Aku hanya ingin semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan untuk aku dan Ibu agar dapat melewati ini semua.

Semua yang terjadi di kehidupan kita ini adalah takdir yang telah tertulis sebelum kita lahir dan kita sebagai manusia hanya bisa menerima semuanya dengan ikhlas.

Maafkan Aku Yang Tak SempurnaWhere stories live. Discover now