Selamat Pagi Ayah

0 0 0
                                    

Malam berganti pagi. Ku bangun untuk menunaikan ibadah sholat shubuh. Ayah dan Ibu sangat menekankan untuk tidak pernah meninggalkan sholat selama aku masih bisa melakukannya. Ku taruh kembali perlengkapan sholat ke tempat semula setelah selesai. Ku temui Tante Mira yang tengah menyiapkan makanan untukku selama Ibu berada di rumah sakit untuk menemani Ayah. Walau Ibu tahu kondisi Ayah seperti apa tapi ia tak ingin meninggalkannya sehingga sering kali Ibu menginap di sana.

Tante, apa makanannya sudah siap? tanyaku sembari menengok ke masakan yang sedang dibuat Tante Mira.

Sebentarrrr lagi! balas Tante Mira.

Baiklah aku akan sabar menunggu, kataku sembari berjalan ke meja makan.

Anak pintar, kata Tante Mira.

Sekitar lima menit aku menunggu di meja makan, akhirnya aku dapat menikmati makanannya juga. Setelah semua sudah dirapikan aku dan Tante Mira bersiap-siap pergi ke rumah sakit sembari mengantarkan makanan untuk Ibu. Aku sungguh tidak sabar untuk bisa melihat Ayah pagi ini. Selama perjalanan ke rumah sakit Tante Mira banyak cerita tentang Ayah yang sangat jahil kepada Tante Mira. Aku pun sangat enjoy mendengarkan ceritanya dan aku berharap Ayah cepat sadar kemudian menceritakan masa lalunya kepadaku.

Ketika aku dan tante Maria sampai di rumah sakit. Beberapa kali aku mendengar semua perawat membicarakan seseorang. Mereka mengatakan orang itu bertubuh tinggi, kulitnya putih, sekilas aku mendengar juga katanya kalau ia memiliki mata yang sipit kaya orang asing. Aku yakin sekali jika seseorang itu berjenis kelamin laki-laki.

Ku buka kenopi pintu kamar ayah pelan. Aku lihat ibu tengah membilas tubuh ayah dengan handuk. Aku melihat sosok perempuan super baik, sabar berdiri memandangiku penuh dengan kehangatan.

Assalamualaikum, Bu. Ku cium tangannya kemudian ku peluk tubuhnya. Aku tahu perasaannya saat ini, ia pasti sangat sedih melihat orang terkasihnya terbaring tak perdaya. Aku juga dapat merasakan kesedihan itu.

Waalaikumsalam, sayang.

Ibu makan dulu yah. Biar aku saja yang melanjutkannya, kataku.

Baiklah, balas ibu sembari memberikan handuk yang ada di tangannya kepadaku.

Tante Mira pun bergegas menyiapkan makanannya. Ini Kak, katanya.

Makasih, Mira.

Sama-sama, Kak.

Selamat pagi, Ayah. Ku bisikan ditelinganya. Aku harap Ayah bisa mendengarnya lalu segera bangun. Gimana keadaan, Ayah? Aku selalu berdoa semoga Ayah cepat sadar agar kita bisa bermain lagi. Aku kangen Ayah. Ku ungkapkan semua yang ingin aku katakan kepadanya. Ayah, aku berangkat sekolah dulu yah. Ku cium tangannya. Kebiasaan itu selalu aku lakukan ketika aku hendak pergi. Setelah itu aku berpamitan kepada Ibu.

~~~~

Di sekolah.

Semua teman-teman aku sudah mulai memasuki kelas sementara bayangan Ayah yang selalu mengantarkanku ke sekolah kini hadir di dalam benakku tak terasa air mataku kembali menetes membasahi pipi. Ayah, cepat bangun! Aku merindukanmu, dalam batinku yang selalu aku ulang.

Selama pelajaran dimulai aku tidak bisa memahami sama sekali yang Bu guru jelaskan di depan. Pikiranku tertuju hanya kepada Ayah. Bagaimana nanti hari-hariku tanpa Ayah di sampingku? Namun pertanyaan itu tak pernah ku temukan jawabannya. Tentu aku tidak akan sanggup. Aku selalu bergantung kepadanya hanya Ayah yang bisa menjadi teman setiaku, menjadi tempat curhatanku selain ibu. Tanpa sadar aku terlalu jauh melamun sehingga membuat teman yang duduk di sampingku menjadi heran. Tak lama ku tersadar dari lamunanku ketika ia mulai menggoyang-goyangkan tubuhku.

Kamu baik-baik saja, kan? tanyanya.

Astagfirullah, aku tak apa-apa, balasku.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh siang yang berarti waktu buat istirahat sudah diperbolehkan. Aku dan Nara memutuskan untuk pergi ke kantin bersama. Ketika aku dan Nara sedang memesan beberapa makanan tiba-tiba saja seseorang menabraku dengan sengaja. Awww, kataku spontan.

Oopps, aku tidak sengaja, balsanya.

Bagaimana bisa dia mengatakan tidak sengaja padahal jelas-jelas ia sudah menabraku. "Maksud kamu apa, Dewi? tanyaku kepadanya.

Sepertinya ia tidak suka dengan pertanyaanku. Hai, anak tukang korupsi. Memang benar Dewi salah satu anak dari teman Ayah sehingga mungkin ia tahu masalah yang sedang terjadi di kantor Ayahnya. Seketika semua orang yang berada di tempat itu menatap ke arahku lalu saling berbisik satu sama lain.

Jaga bicara kamu, Dewi! Ayahku tidak korupsi.

Tidak usah mengelak sudah ada buktinya kok kata Ayahku.

Tapi itu belum tentu benar jadi jangan pernah kamu menagatakan Ayahku korupsi, bentakku.

Memang usah bicara sama orang seperti kamu, balasnya sebelum Dewi pergi.

Aku benar-benar merasa sakit hati kepada Dewi yang sudah mengatakan Ayah korupsi kenapa bisa ia mengatakan itu padahal ia tak tahu seperti apa Ayah dalam kesehariannya, mana mungkin Ayah melakukan yang tidak di sukai oleh Allah.

Sabar Fatimah, kata Nara menenangkan.

Iya Nara. Aku tak akan mudah percaya begitu saja dengan Dewi.

Baguslah, balas Nara.

Akan aku tanyakan ini kepada Ibu batinku. Aku dan Nara segera kembali ke kelas setelah makanan yang kami pesan sudah siap. Kami pun langsung menyantap makanannya dengan lahap karena waktu istirahat akan segera berakhir. Tak lama kemudian Dewi bersama teman-temannya pun masuk dengan tatapan tajam sembari senyum sinis ke arah kami dan aku lebih memilih untuk tidak menghiraukannya samapi akhirnya jam sekolah selesai. Aku segera keluar kelas setelah Bu guru baru saja pergi. Sampai jumpa, Nara. Aku melambaikan tangan ke arah Nara yang masih belum selesai merapikan buku-bukunya. Hati-hati, kata Nara sambil membalas lambaian tangan dariku.

Sahabat tak akan pernah meninggalkan temannya di kala ujian datang menghampiri karena sahabat adalah seseorang yang telah menjadi bagian dari hidupku setelah Ayah dan Ibu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 08, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Maafkan Aku Yang Tak SempurnaWhere stories live. Discover now