Chapter 1 - Nikko Cruz and His Two Mentors

13 0 0
                                    

Akademi Carpe Noctem, Striolia. Masa kini.

Seseorang baru saja membuka pintu ruangan bercat putih yang memiliki plakat bertuliskan Neg Ergess. Di bawah nama tertera jelas jabatannya sebagai Kepala Sekolah. Tidak lama, dua orang melangkah masuk. Tinggi mereka sangat kontras, sekontras seragam serba putih dan hitam yang mereka pakai.

Sosok yang menjulang tinggi berbalut busana serba putih hingga ke warna sepatu. Dilihat sepintas dari samping orang akan mengira ia adalah seorang aktor terkenal. Namun, bila berhadapan langsung, maka ia akan dengan mudah dikenali sebagai Wakil Kepala Sekolah, Kenneth Stake.

Rambut cokelat keemasan mirip surai singa jantan, dibelah samping sambil diberi jel dan tersisir rapi. Tampan, misterius, berbahaya seperti predator tapi menggoda si mangsa untuk mendekat adalah beberapa kata yang cukup mewakili kualitas yang ada pada dirinya.

Nicholas Elendiel Cruz alias Nikko, satu dari segelintir manusia yang tidak mempan dengan pria 'pemilik pesona surgawi yang seharusnya tidak pernah turun ke bumi' ini. Baginya, Kenneth hanyalah sosok pria tebar pesona yang arogan, bipolar, dan cenderung sadis.

Entah mengapa orang-orang selalu menyamakan mata cokelat terang kekuningan milik Kenneth dengan bola kristal amber yang jernih dan bening, karamel yang mengkristal, atau madu. Sungguh, mereka pasti adalah orang-orang beruntung yang tidak pernah dipelototi dan merasakan tekanan psikologis yang meremukkan rasa percaya diri.

Tatapan Kenneth lebih tepat diasosiasikan dengan kata buas, dingin, sinis dan kejam. Dalam benak, Nikko menggambarkan dirinya sendiri sebagai serigala Alpha yang angkuh, pemberani, dan keren. Namun, terpaksa turun derajat menjadi anjing pengecut dan kehilangan kontrol terhadap cairan kuning yang tiba-tiba mengalir deras di antara kaki belakang.

Berdiri di atas kubangan air seni sendiri adalah hal yang mencincang harga diri. Pada akhirnya, ia sampai pada kesimpulan yang melawan arus—Kenneth adalah jelmaan siluman singa jantan arogan dan narsistik yang masih mempertahankan fitur kebanggaannya itu meski telah berwujud manusia.

Nikko bergeser ke kiri supaya punggung Kenneth tidak menghalangi pandangannya. Seperti biasa, kekagumannya tidak pernah reda sesering apa pun ia diseret paksa ke tempat yang lebih yang lebih mirip galeri seni daripada ruang kerja seorang kepala sekolah. Sebut saja patung beraneka rupa dan bentuk yang terbuat dari bahan berbeda. Dindingnya nyaris tertutup lukisan-lukisan mahal dan antik. Semuanya jelas untuk menonjolkan keindahan dan selera seni dari si pembuat. Rak buku besar berdiri gagah pada sisi dinding yang lain.

Kursi tinggi besar yang menyembunyikan siapa pun yang duduk di situ selalu menyambut pandangan begitu pintu dibuka. Di dekat jendela, permukaan meja kayu berlaci banyak, diisi oleh jejeran 12 patung wajah sebatas dada yang diberi plakat nama bertinta emas. Meski sudah diberi nama, Nikko sama sekali tidak berniat membaca apalagi menghapal nama dan wajah dari patung-patung tersebut.

Lemari kayu tanpa pintu yang menjulang tinggi hingga menyentuh langit-langit berfungsi sebagai pembatas dua ruangan berbeda lantai. Penghuni lemari inilah yang menjadi pusat perhatian Nikko. Di atas sekat-sekat vertikal tergeletak berbagai bebatuan dalam bentuk aslinya yang memerangkap batu-batu mulia di dalamnya. Beberapa batu mulia yang sudah melalui proses turut dipajang dan jumlahnya tidak sedikit.

Mata lapar Nikko tidak beralih dari deretan permata yang memiliki banyak bentuk, seolah saling bersaing untuk menonjolkkan keunikan kilaunya. Ia penggemar benda berkilau, terutama pada harga yang nantinya akan tersemat. Jendela berkaca bening, merefleksikan cahaya matahari yang masuk seperti prisma, membuat isi lemari semakin memantulkan warna pelangi masing-masing.

Insting posesif—lebih tepatnya, pencuri—beberapa kali menggelitiknya untuk memindahkan semuanya ke dalam saku baju.

Seakan tahu yang ada dalam pikiran si pembuat masalah, Kenneth segera mengusir binar di mata Nikko melalui satu dorongan tongkatnya yang sudah menempel di punggung lelaki berusia 17 tahun ini.

Relics & Legacies [ARC I: Erasmus]Where stories live. Discover now