Still Continue

0 0 0
                                    


Tidak ingin memendam, tetapi rasa itu masih ada dan kian membesar. Masih terus berjalan mengarungi kehidupan. Entah bagaimana cara menghilangkannya. Sakit. Itu terus menghujam di relung dada setiap kali di bicarakan. Hujan air mata sudah tak terbendung lagi di saat kekecewaan itu datang kembali. Sanubari meraung memberontak dengan akal bagai tak pernah bisa berdamai. Dia pergi. Meninggalkan kerapuhan dalam diri.

Jika seperti ini, siapa yang ingin di salahkan, Tuhan? Seberapa hebat ingin menyalahkan tuhan. Diri ini saja yang tidak siap kecewa. Banyak yang berkata jangan menyalahkan diri sendiri. Namun, memang penyebabnya ada diri ini, sehingga dia pergi dan tak pernah kembali. Tubuh yang tertidur dengan tenang di dalam tanah berhiasan nisan tertera namanya. “Bagaimana caraku agar tak terus-menerus meneriakkan namamu di saat mata ini ingin terpejam?”

Sungguh ini begitu menyakitkan. Napas ini sangat tercekik kala rasa kehilangan ini terus berlanjut.  Ledakan amarah kala itu benar-benar memberikan efek mendalam. Padahal, pernah berangan “Nanti kita akan terus bersama. Tidak ada istilah menitipkan. Mama harus ikut sama aku, supaya aku bisa merawat Mama.” Ketika teringat itu batin ini kembali menyiksa. Seperti ribuan luka yang di balur garam kasar, lebih menyakitkan dari rasa kecewa lainnya. Aku yang kecewa padanya dan lebih merasa merutuki kebodohan ego sesaat. Menyesal yang amat dalam.

DRABLE Where stories live. Discover now