3.3 Sesaat adalah Abadi

174 36 24
                                    

Jatmiko duduk di hadapan Aryo dan Damar yang menatapnya khawatir. Di sisi mereka, Handaru berbaring dengan mata kekeuh memejam. Kata Jatmiko, ada yang ingin disampaikannya sepulang ia dari rumah Nirmala. Namun, setibanya si muda di rumah sakit sampai saat ini, Jatmiko sama sekali belum bersuara. 

"Apa yang terjadi, Miko?" Menyadari wajah lesu Jatmiko, Damar buru-buru bertanya. Nadanya begitu khawatir. Undang adiknya yang daritadi menunduk untuk mendangak. Tapi setelah diinterogasipun Jatmiko tetap bungkam. 

Sebab kerongkongannya tercekat. Jatmiko takut, apabila dia membuka suara dan memulai pengakuannya, air mata bakal menguar alih-alih kalimat penjelasan. 

Melihat gelagat kesedihan saudaranya, Aryo julurkan tangan dia. Menggenggam telapak mengepal Jatmiko di atas pahanya untuk memberitahu, kalau dia tidak sendiri.  

"Ko," panggilnya lembut, "Panjengan selalu punya aku. Punya kami, Mas Damar juga Handaru. Jadi jangan takut pada apapun yang akan terjadi." 

Damar mengangguk. Menyetujui. Membenarkan janji adik kandungnya. Setelahnya, hening kembali menguasai di antara mereka. Ruang rawat Handaru hanya diisi oleh suara EKG dan jarum jam yang berdetak sabar.  

Baik Damar juga Aryo tak mau mendesak Jatmiko untuk menceritakan semuanya apabila si muda belum siap. Mereka memberi waktu pada Jatmiko yang mulai menangis tanpa suara. Meski khawatir dan cemas, tapi Damar dan Aryo tetap diam dan memperhatikan. 

Merasa tidak enak karena telah membuat kedua saudara tirinya menunggu untuk mengasihaninya, Jatmiko berdeham. Ditatapnya kedua saudara dia. Sedang tersenyum ke arah dia dengan kepala mengangguk untuk meyakinkan Jatmiko kalau semua akan baik-baik saja. Seperti janji yang barusan digaungkannya. 

Maka setelah satu hembusan napas panjang, Jatmiko memulai. Tidak peduli pada apa respon yang barangkali akan diberikan, yang daritadi mengganggu kepalanya dalam ketakutan. Bagaimana jika nanti, Aryo apalagi Damar membencinya? 

Tapi bukankah itu sanksi yang harus ditelannya? 

"Mas, maafkan aku," katanya, "Terutama pada Handaru yang menanggung dosaku." 

"Atas apa?" 

"Atas kecelakaan beruntun yang terjadi kemarin. Aku penyebabnya, Mas." Suara Jatmiko pecah, air matanya mengalir makin deras. Jatuh mengenai tangan Aryo yang masih menggenggam miliknya. Erat seakan tak membiarkan Jatmiko lepas lagi dari jangkauan si muda. 

Jantung Damar sempat melompati satu detaknya untuk kemudian berdebar menjadi lebih kencang. Matanya membelalak sebab terkejut mendengar pengakuan adiknya jelas diluar duga dan terka. Kecewa menggerogoti Damar tanpa ampun. Menamparnya keras-keras dalam realitas kalau secara tidak langsung Jatmiko telah merampas puluhan nyawa. Tapi, meskipun demikian, Damar tidak boleh serta-merta menyuarakannya. Jatmiko pasti punya alasan kenapa dia melakukannya. 

"Iya, Jatmiko?" 

Aryo menunduk. Membuang muka untuk menghindari menatap wajah Jatmiko. Hatinya ikutan sakit, dia marah. Merasa seperti benar-benar terkhianati. Nanti dia tak bisa membenci. Jatmiko sedang butuh dia. 

"Aku melakukannya setelah dapat pesan ancaman kalau aku tidak ikuti perintahnya, dia bakal menyebar video asusila." Jatmiko memejam, malu, takut, marah, jijik, tercampur aduk dalam dada, "Mau dipandang bagaimanapun juga aku bersalah, Mas. Pertimbanganku kala itu tidak bisa dibenarkan. Aku bersalah dari semua aspek."

Menelan ludahnya, satu dari banyaknya pilihan dan pertimbangan yang tersedia. Jatmiko tidak pernah gegabah. Dia pasti sudah memikirkannya matang-matang. Meski Damar tidak mengerti, dari semua itu, kenapa Jatmiko memutuskan untuk mengorbankan nyawa-nyawa tidak bersalah.  

Buana Bumantara | J-Line Treasure Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang