Part 8

318 8 1
                                    

Jumat pagi, Dea sudah bersiap mengikuti kajian.

Berjalan kaki sendiri, tidak mau dibonceng ayahnya. Dea masih ngambekan karena kemarin dimarahi habis-habisan oleh sang ayah tanpa mau mendengarkan penjelasan apapun dari Dea. Ia merasa ayahnya tidak adil.

Biasanya sang ayah akan bolak-balik mengantar Dea dan sang istri ikut kajian.

"Dea."

Mendengar panggilan itu, Dea berbalik badan. Tampak mobil berhenti di sebelahnya. Kaca mobil diturunkan. Seorang wanita yang dipenuhi gelang emas di lengannya melambaikan tangan. Ternyata tetangganya.  Ibu itu menawarkan Dea naik ke mobilnya.

"Nggak papa, Bu. Dekat kok."

"Nggak usah sungkan. Kapan lagi coba naik mobil baru saya. Ini mobil ketiga lho."

Dea hanya tersenyum sopan. Tanpa diberitahu, dirinya juga sudah mengetahui lebih dulu. Suaminya seorang agen mobil, wajar kalau suka ganti-ganti mobil karena sudah laku. Namun tetangganya sendiri memang sewot.

"Nggak usah bu, makasih."

Ibu-ibu sosialita itu akhirnya menuju ke masjid sendirian.

Sebenarnya bukan karena dekat, namun Dea kurang suka berinteraksi dengan Ibu-ibu di kompleknya. Mereka suka penasaran dan akhirnya membandingkan dengan anak-anaknya yang sudah sukses.

Sesampainya di masjid, tampak ayah dan ibu Dea juga baru saja tiba.

Dea membuang muka, lalu berlalu di hadapan kedua orang tuanya.

"Dea, sini dulu ayah mau bicara."

Dea menunduk, tidak mengeluarkan sepatah kata.

"Ayah minta maaf karena kemarin tidak berhasil mengontrol emosi. Harusnya ayah tidak begitu keras sama kamu."

"Nggak usah minta maaf, udah biasa kan?"

***

Kajian itu hanya diikuti akhwat. Penyampaian ustazah 31 tahun itu sangat mudah diterima. Bahkan menyentuh kalbu setiap jamaah.

"Ibu-ibu sekalian, apa yang paling penting bagi seorang wanita?

Apakah anaknya, suaminya, orang tuanya, kekayaan, atau karir? Apa yang paling penting?"

Jamaah tampak kesulitan untuk memilih jawaban yang paling tepat. Semua yang disebutkan tak kalah penting.

"Yang paling penting bagi wanita adalah the One, Allah azza wa jalla. Dengan adanya Allah, kita punya orang tua, suami, anak, kekayaan, semua itu bisa kita dapatkan. Tanpa Allah mustahil kita dapatkan semua itu.

Coba bayangkan diri kita yang kadang telat menunaikan salat dengan alasan nanggung, lagi kerja, bentar lagi aja. Padahal jelas jelas Allah yang memberikan kita rezeki.

Ketika mendapatkan telepon dari seseorang, dengan segera kita angkat karena takut membiarkan mereka menunggu lama. Tapi ketika mendengar azan, musik malah semakin dikeraskan. Yang sedang berbicara, semakin membesarkan suaranya. Seakan suara azan adalah bunyi yang sangat mengganggu.

Kita lupa bahwa diri kita ini adalah milik Allah. Dunia ini Allah ciptakan agar kita mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya. Kita akan pulang, tempat kita bukan di sini. Tempat yang kekal adalah di akhirat.

Ini tidak saudara-saudara, kita sebagai hamba jarang sekali memprioritaskan Allah. Begitu tega menabrak semua yang Allah larang. Mungkin kita tidak dilahirkan dari keluarga islami, bukan dari lingkungan religius, tapi ingatlah pintu kemaafan Allah tidak pernah tutup.

Selama masih ada waktu, perbaiki diri kita dari sekarang. Lakukan hal-hal wajib, tinggalkan hal-hal yang merugikan diri kita."

Dea merenungi dirinya. Diri yang begitu jauh dari Allah. Dia sibuk menemani Tari hingga telat menunaikan salat.

"Ya Allah mohon Engkau bukakan pintu kemaafan dari-Mu."

Begitu pengajian usai, Dea masih belum beranjak dari sana. Ia menetralisir keadaan. Matanya sudah sembab karena menangis dalam diam.

Seseorang mengusap punggung Dea. Gadis itu terperanjat, lalu segera memeluk lelaki itu yang merupakan ayahnya.

"Yah, maafin Dea."

"Ayah juga minta maaf karena nggak dengarin kamu dulu."

"Kalau Dea nggak ngelakuin kesalahan mana mungkin Ayah marah. Ini salah Dea."

"Seperti yang Ayah bilang, jauhi pergaulan yang sekiranya itu kurang baik buat kamu. Ketika kamu menolong orang, jangan sampai merugikan diri kamu sendiri."

Dea menganggukkan kepalanya.

"Hari ini Ayah mau bawa kamu ke sebuah panti asuhan. Di sana banyak anak-anak yang haus akan ilmu. Ayah harap nantinya kamu bisa berkontribusi untuk beramal di sana."

"Jadi semacam relawan gitu, Yah?"

Lelaki paruh baya itu mengangguk. Mata Dea seketika berbinar. Itu termasuk salah satu kegiatan yang ia senangi. Datang ke tempat-tempat dan memberikan bantuan atau sosialisasi. Dea memang sedikit anti sosial karena tetangganya banyak yang julid, tapi Dea suka bertemu anak-anak.

Ayah Dea mengatakan akan salat Jum'at di masjid dekat panti asuhan tersebut. Kebetulan dirinya diundang menjadi Khatib. Maka dari itu mereka segera bergegas karena waktu salat Jumat akan segera tiba.

Begitu sampai di panti asuhan tersebut, tampak anak-anak sibuk bergotong royong membersihkan halaman panti.

Dea menggumamkan salam, mereka segera menjawabnya. Namun, raut wajah bingung mulai terpancar pada wajah belasan anak itu.

"Akhi, ada tamu."

"Siapa?" tanya seseorang bersamaan dengan keluar dari panti. Dea ikut mengarahkan matanya ke sumber suara.

Tatapan Dea terhenti. Lelaki itu, menatap Dea sepersekian detik, lalu buru-buru menundukkan pandangannya.

"Kenapa Dea? Kamu kenal?"

Interupsi dari sang ayah membut Dea terkaget. Ia segera menggelengkan kepalanya. Walaupun sebenarnya ia mengenal sosok bersarung dan berpeci itu. Walaupun mereka tidak pernah berkenalan.

***

To be continued!!!

Halo, Assalamu'alaikum

Siapakah sosok yang bertemu Dea itu? Wkwk

Penasaran, nantikan lanjutannya ya! Jangan lupa vote, komen, and share tulisan ini biar diketahui lebih banyak orang lagi.

Kalau kalian ada kritikan dan saran, boleh banget ya, demi kemajuan karyanya. Oh ya jangan lupa follow jika kamu belum follow akun ini.

Jazakumullahu khairan!

Pendosa BerhijabWhere stories live. Discover now