Part 5

526 12 2
                                    

Awalnya Dea merasa lelaki yang estetik itu, keren. Jarang memperlihatkan wajah, tetapi postingannya paling menarik. Ada saja semua momen untuk diabadikan.

Seperti apa yang dilakukan si lelaki fotografer itu. Setiap harinya memublikasikan kegiatan. Dari merapikan tempat tidur, lalu membuat kopi atau sekadar menyeduh teh. Sampai pada proses menuangkan ke dalam cangkir saja dirinya tak pernah absen dari kamera.

Beres dari sana, ia menyemprotkan tanaman di kamarnya yang ditempatkan dalam vas cantik.

Kamu hebat, punya segalanya. Tapi aku rasa akan lebih bermanfaat jika membagikan semua itu dibarengi ungkapan atau petikan-petikan agama. Insya Allah akan membuahkan hasil yang baik bagi pengikutmu.

Dea akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan itu pada si lelaki fotografer karena sudah tidak tahan dengan postingannya setiap saat.

Anda punya hak apa mengatur isi postingan saya? Kalau tidak suka maka bisa tinggalkan. Simple!

Balasan itu menyakiti hati Dea. Namun salahnya juga yang main langsung tegur lelaki yang tidak ia kenal dan lelaki itu juga tidak mengenalnya.

Maaf, aku hanya menyampaikan apa yang aku rasakan. Ini hanya bentuk kepedulian dariku sebagai salah satu pengikutmu. Baiklah, akan kutinggalkan akun ini. Semoga kedepannya kamu bisa menjadi yang lebih baik.

Dea dengan segera meng-unfollow akun tersebut. Ia menghela napas kasar dan menaruh ponselnya di atas kasur. Ketika menatap ke dinding, dirinya baru sadar ternyata sudah jam empat sore.

“Udah, cuma dunia. Semua akan mengecewakan pada waktunya.”

“Dea sudah salat?” pertanyaan itu tiba-tiba muncul dengan kehadiran seorang lelaki yang tak muda lagi.

“Be-belum Abi.”

“Tunggu apa lagi?”

“Tunggu ada yang imamkan kayaknya tuh Bi.” Tanpa diminta sang ibu menyahuti.

“Nggak akan Abi nikahkan kalau menjaga salat sendiri aja nggak bisa. Mau kamu sudah berumur dewasa, kalau kamu belum menunjukkan sikap-sikap kesiapan, Abi nggak akan memberi restu.”

“Kan bisa nikah dengan lelaki sholeh biar ada yang membimbing.” Dea menimpali.

“Jangan berekspetasi besar pada pernikahan, Dea. Kalau dia seorang ustaz, dia akan sibuk dengan tanggung jawab mengajari santrinya. Kalau dia imam salat, dia akan mengimami jamaah di masjid, bukan mengimami kamu. Kamu harus gali agama sendiri, bukan berharap pada dia yang belum pasti.

“Masa muda sekarang, masa yang paling efektif untuk kamu. Belum punya tanggung jawab melayani suami, mengurus anak, membereskan rumah. Kamu akan menyesal kalau menikah tanpa bekal. Nanti kamu kelaparan dengan ilmu tapi kamu sudah tidak bisa mendapatkan.” Ibunya menjelaskan dengan panjang lebar, tetapi Dea masih belum begitu menemukan poinnya.

“Maksud Ummi apa sih?”

“Ikut kajian sama Ummi, ya!” wanita paruh baya itu memberikan senyum penuh kepada anaknya agar sang anak mau menerima ajakannya.

Pendosa BerhijabWhere stories live. Discover now