01

137 7 0
                                    

"Maksud papi?"

Hamada Asahi, taruna berusia duapuluh satu tahun dengan mata cokelat madu dan pipi agak gembil itu menyerngit heran dari tempatnya berdiri saat ini. Agaknya pemuda berkelahiran agustus itu masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengarkan dari sambungan teleponnya. Akalnya perlahan mulai memproses untuk menemukan letak lelucon. Sudah duapuluh detik ia menunggu jawaban, selama duapuluh detik itu juga taruna manis itu perlahan menarik kurvanya keatas. Ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikannya.

"Seperti yang papi bilang tadi. Papi nggak akan larang-larang Asa lagi. Sekarang Asa boleh kok ngelakuin apa yang Asa mau. Mau itu nggambar, ngelukis, main musik, atau apapun itu terserah. Papi nggak akan ganggu kesenangan Asa lagi."

Senyum sang laki-laki itu menguar bebas. Seakan memberi warna diseluruh penjuru ruangan tempatnya berpijak saat ini. Tak ada yang lebih membahagiakan lagi kecuali saat ini, ketika akhirnya Papinya merestui hobinya. Akhirnya setidaknya butuh sekitar lima tahun dirinya telah menjadi anak yang rebel, durhaka pada kedua orangtuanya. Inikah waktunya dirinya untuk mengakhiri label jeleknya itu?

"Tapi Papi sama Mami punya syarat buat Asa."

Bak terbang sampai kelangit tujuh, kini dirinya seakan dibanting jatuh kebumantara dengan keras. Satu kalimat yang lolos di indera pendengarannya memecahkan segala bayangan bagaimana ia melewati hari-hari bahagianya nanti. Ia bersungut-sungut menahan emosi yang hendak meluap tak terkontrol.

"Papi sama Mami nggak ikhlas? Kalau gitu aku ggak mau. Asa nggak mau dikasih syarat."

"Asahi! kamu ini sudah besar. Harusnya sudah paham kalau kabur-kaburan itu bukan hal yang baik. Papi sama Mami udah capek ngeladenin kamu selama ini. Jangan bandel, Papi cuma mau Asa jadi anak yang baik--"

Taruna berzodiak Leo kini mendengus kesal sambil membanting handphonenya kekasur secara asal. Ia bahkan tak peduli bila handphonenya yang bermata tiga itu kini jatuh ke lantai yang bisa saja membuat retak layarnya. Sumpah demi apapun Asahi tak paham lagi dengan apa yang kedua orangtuanya mau darinya.

Mereka sudah capek atas apa yang telah dirinya lakukan selama ini?

Menurut mereka dirinya melakukan ini semua karena apa?

Kepala Asahi mendadak pening. Mereka bahkan tidak tahu seberapa menderitanya ia selama bertahun-tahun ini, dikurung seperti puteri yang sengaja dipisahkan dari pangerannya. Semuanya telah terencana, ia didikte untuk terus patuh pada aturan keluarga. Jangankan keseharian, masa depannya bahkan telah ditentukan sebelah pihak.


"Ada apa?"

Suara bariton itu menelisik masuk dalam pendengarannya. Menyirnakan prahara yang bergerumul dalam benak. Pemuda yang baru saja masuk sembari menenteng dua plastik besar ditangannya kini menaruh atensi penuh pada taruna yang lebih kecil darinya, yang terlihat sedang menahan emosinya meski sudah sangat diujung yang memaksa untuk dikeluarkan, atau malah lelaki itu sudah mengeluarkannya, sebelum kedatangannya. Terlihat dari sorotan matanya yang tajam, wajah hingga telinganya memerah, serta barang-barang yang telah ia susun rapi beberapa saat lalu kini sudah terjun bebas tak beraturan dibawah.

Tak lama setelah terang-terangan dipandang olehnya, sementara dirinya sendiri sedang tidak mau diganggu dulu, pemuda Leo itu membuang muka dan berlalu dari hadapannya.

Meninggalkan taruna jangkung dengan seribu terkaan dalam benaknya.

Yoon Jaehyuk. Laki-laki yang telah membersamai Asahi selama beberapa tahun kebelakang. Bila dibandingkan, Asahi bahkan jauh lebih akrab dengannya daripada orangtuanya sendiri. Karena faktanya, kedua taruna itu memang tak dalam jarak umur yang jauh, hanya berselisih kurang dari sebulan saja, yang mungkin bisa menjadi salah satu faktor mereka cepat dekat dan nyaman. Baik Asahi maupun Jaehyuk, mereka tak peduli adanya tingkatan atau batasan yang mengharuskan mereka untuk berlaku selayaknya tuan muda dengan pengurusnya.

Benar, Jaehyuk is Asahi's butler.

Awalnya, Jaehyuk memang memperlakukan Asahi seperti pangeran kecil yang bahkan tak bisa memakai sepatunya sendiri. Namun setelah ia merasa jauh lebih mengenal sang taruna kecil itu yang sedikit keras kepala dan menyebalkan, ia memutuskan untuk membuang jauh-jauh segala batasan diantara mereka. Asahi memang awalnya cukup kaget dengan tindakan impulsif dari Jaehyuk itu sendiri, yang bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun lama kelamaan ia justru merasa nyaman dengan hubungannya yang baru itu.

Toh, ia lebih suka menganggapnya sebagai teman alih-alih pekerjanya.

"Tidur, Sa. Malah ngapain sih lo?"

Dengan langkah tak gentar Jaehyuk melangkah masuk kedalam kamar Asahi sambil menyeret tas hitam besar dikedua tangannya. Membuka resleting, menarik dan menata setumpukkan baju-baju untuk dimasukkan kedalam lemari.

Ceritanya, mereka ini baru saja menyewa apartement sederhana diujung kota yang jauh dari timpat tinggal asalnya. Pindahan adalah hal yang paling merepotkan dan melelahkan, pikir lelaki bermarga Yoon. Namun semelelahkan apapun itu, ia tetap bersikeras untuk ikut pergi meski sang majikan telah melarangnya kali ini.

Ekor matanya melirik taruna kecil yang sedang duduk manis dengan piyama kuning dikursi belajar. Kakinya ia tekuk bersila diatas kursi, sedangkan tangannya sibuk menyuap sendokan cokelat kinderjoy dalam diam. Asahi tak menyangka kalau Jaehyuk akan masuk kedalam kamarnya tengah malam seperti ini.

"Laper kan lo? Makanya nggak usah sok jadi manusia paling menyedihkan." Lanjutnya yang tetap pada pekerjaannya menata barang. "Sok nggak mau diganggu, sok nggak mau makan. Keren lo begitu?"

Yaa emang kenapa sih...

"Siapa yang bakal repot-repot ngurus kalo lo tepar? Sakit? Pingsan?"

Lo lah?

"Siapa yang bakal capek-capek emosionally physichcally buat ngeladenin kemauan childish lo waktu ngambek kayak gini?"

Mendengar itu, tangan Asahi semakin pelan untuk menyuapi dirinya sendiri. Ia merasa sedikit bersalah namun dengan cepat akalnya menepisnya jauh-jauh. Kan memang tugasnya untuk mengurus itu semua! Iyakan?

Batin Asahi menderu mendumeli komentar Jaehyuk tentangnya. Si mata cokelat itu masih saja lanjut menyuapi krim manis kinderjoy kedalam mulutnya, tak memedulikan keberadaan Jaehyuk yang kepalanya mulai mengeluarkan asap. Entah sudah habis berapa bungkus ia malam ini. Karena laparnya tak kunjung sirna.

Jaehyuk berkacak pinggang. "Lo dengerin gue nggak, sih?"

Hal itu membuat sang taruna kecil mengerutkan dahi. Yang sedang marah hari ini kan Asahi, namun kenapa Jaehyuk jauh lebih emosi dibanding dirinya?

"Brisik." Sahut Asahi mengacuhkan pertanyaanya. Jaehyuk yang mendengar semakin ingin bersungut-sungut untuk menengelamkan Asahi kedalam kloset sekarang juga. Kalau saja Pemuda itu bukan majikannya, bayangannya mungkin sudah terwujud detik itu juga.

"Mana HP gue?"

"Nih!" Balas Jaehyuk sambil melempar handphone bermata boba yang layarnya sudah retak separuh, padahal seingatnya baru beberapa bulan lalu pemuda itu membelikan Asahi ponsel baru atas perintahnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala saja.

Asahi yang untungnya menerima lemparan tak terduga dari Jaehyuk itu mendesis kesal pasalnya pergerakannya yang tiba-tiba membuat kinderjoy yang masih setengah utuh itu terjatuh, membuat piyamanya kotor dengan krim manis yang --sungguh ia masih menginginkannya dan sialnya itu adalah kinderjoy terakhirnya dikulkas.

"Anjing."

Jaehyuk terkekeh. Tangannya melayang keudara membentuk tanda peace. Seakan puas dengan ekspresi majikannya saat ini.

"Ounch gomen."

Detik selajutnya Asahi hanya mendengar lengkingan tinggi dan berat dari Jaehyuk yang memantul diseluruh sudut ruangan yang sengaja ia lempari barang random dihadapannya. Tanpa memedulikan sang target yang tengah kelimpungan melindungi diri.

"Sa, Sa –Aduh, anjir udah dong, nanti gue juga yang repot beresin barang-barang lo!"


"Nggak peduli!"







AphroditeWhere stories live. Discover now