02

55 6 0
                                    

Ini masih bulan November, dan taruna dengan kaos putih dimasukkan yang dibaluti jaket denim, celana kain cokelat terang, sepatu converse berwarna kuning, dan topi baret abu-abu yang menambah kesan kasual pada dirinya, harus menerima fakta bahwa hujan masih senang mengguyur kota tanpa ampun. Pemuda itu menyesal lantaran mengghiraukan pesan Jaehyuk beberapa saat lalu untuk berjaga-jaga membawa payung jika hujan turun.

Kini, mau tak mau dirinya hanya memiliki dua pilihan. Menerobos hujan atau menetap di hall sembari menunggu reda namun satu atap dengan banyaknya mahasiswa yang ikut menepikan diri dari likuid diluar sana. Becek, berdesak-desakkan, ramai, dan bising yang membuat isi kepalanya penuh dan pusing.

Asahi tidak suka diantara ramainya orang bercengkrama.

Karena tak kuasa menahan, ia berbalik, menenteng tasnya untuk dijadikan penghalau hujan diatas. Tungkainya perlahan menjauh dari ruangan, meninggalkan sekumpulan manusia dengan segala emosi membuncah yang saling dikeluarkan satu sama lain. Entah dorongan dari mana yang membuat Asahi sedikit berlari untuk cepat-cepat menjauh dari keramaian. Otaknya hanya memikirkan satu tujuan, destinasi sepi.

Selama duapuluh satu tahun hidup, ada tiga kejadian yang membekas dan menyayat hati sehingga berpengaruh pada keberlangsungan hidup Hamada Asahi.

Pertama, kejadian yang masih diingat jelas tentang bagaimana kedua orang tuanya saling beradu argumen dengan tensi yang sama-sama tingginya, saling melempar barang tak beraturan, bahkan tak menyadari bila salah satu barang mereka mengenai wajahnya. Asahi tidak menangis, ia masih kesulitan untuk memproses kejadian yang tengah terjadi saat itu. Tangannya bergetar setelah menyentuh wajah kirinya yang berlumuran darah. Ah, mungkin dikemudian hari luka ini akan meninggalkan bekas. Pikirnya waktu itu.

Kejadian kedua adalah saat Papi aware terhadap apa yang dilakukan anak semata wayangnya yang menghabiskan banyak waktu diluar alih-alih belajar dengan rajin dan membanggakan orangtua. Sebab, semenjak kesibukan kedua orangtuanya dengan alibi kerja, Asahi memilih untuk menyibukkan diri dengan melakukan hal yang menyenangkan.

Ia menyukai perpaduan warna, ia menyukai gambaran, ia menyukai lukisan. Goresan tinta warna-warni mampu menyulap pandangan tentang kehidupannya yang tak selalu muluk-muluk. Semenjak itu Asahi kecil sering kali keluar rumah hanya untuk mencari destinasi yang bisa ia jadikan referensi dalam arsip sketsanya. Menghabiskan waktu demi waktu, hari demi hari, hingga kejadian itu tiba, Sang Papi melarangnya untuk keluar rumah. Menguncinya dari luar, mengacuhkan tangisan sang anak dari dalam kamar.

Asahi memang sedih, kecewa, juga marah. Begitu melihat seluruh alat lukisnya dirampas bahkan dibakar secara paksa oleh sang Papi membuat hatinya remuk. Dalam mata cokelat itu, ia membayangkan harta karun miliknya telah habis hilang dimakan bara.

Beberapa hari setelahnya, Asahi mengurung diri didalam kamar sesuai perintah orangtuanya. Belajar, belajar dan belajar. Begitu tegas Papinya. Untuk beberapa waktu Asahi sulit memposisikan dirinya menjadi anak seperti apa yang diinginkan orangtuanya. Ia jengah, dalam hati ia mengaminkan adanya keajaiban baik datang padanya.

Kejadian ketiga terjadi saat Asahi hendak masuk kelas satu Sekolah Menengah Atas ternama didaerahnya. Kurikulum sekolah memang mewajibkan siswanya untuk mengambil ekskul bebas sebagai pengasah skill mereka dalam mencari minat bakatnya. Asahi jelas kegirangan. Ia memang masih menyukai seni, tapi bila Papinya mengetahui Asahi masih bisa diam-diam melukis dikamarnya bisa menjadi bahaya besar. Sehingga dirinya berusaha untuk menahan hasratnya.

Namun waktu itu ternyata Asahi memutuskan untuk bergabung dengan ekstrakulikuler band atas ajakan temannya, Haruto, Jeongwoo, Mashiho dan yang lainnya. Sahabat baiknya saat itu, yang bisa menjadi pelarian diatas semua yang telah menimpanya. Meski ia tahu keanggotaannya sebagai anak band nanti tak akan berlangsung lama, ia tetap menikmati harinya.

Waktu bergulir cepat, dan seperti yang diduga sebelumnya, cepat atau lambat pasti kegiatannya ini akan ditentang keras oleh orangtuanya, terutama Papinya.

Asahi ini pintar. Ia sudah menyiapkan segala mental untuk menerima caci makian dari Papinya, menyusun serangkaian kalimat bantahan yang cukup kuat. Namun ia salah. Nampaknya ia masih belum cukup cerdik untuk merencanakan segala hal matang-matang, karena nyatanya Papinya tidak memarahi dan mengamuk seperti dulu.

Itu bukanlah hal yang bisa ia syukuri, karena setelahnya dirinya merasa begitu asing. Ia bingung seribu bahasa tak mampu menerjemahkan keadaan. Tiba-tiba saja band sekolahnya itu bubar dengan alasan yang tak logis. Teman-temannya secara serentak menjauhinya terang-terangan, termasuk Haruto dan yang lain.

Padahal, baginya Junkyu, Mashiho, Yedam, Doyoung, Haruto juga Jeongwoo adalah support systemnya selama dirinya masih terjerat dalam kungkungan aturan keluarga. Setelahnya, Asahi menjadi sendirian, ia tak mampu menemukan hint apa yang menyebabkannya menjadi seperti ini. Ia telah kehilangan mataharinya untuk hidup.

Namun satu hal yang pasti, ini semua adalah ulah orangtuanya. Mereka tak suka melihat Asahi sibuk dengan kesenangannya, benci melihat anaknya memperioritaskan hobinya diatas kewajibannya sebagai siswa. Tetapi, nampaknya kedua orangtuanya itu juga lupa atas kewajibannya sebagai orangtua hingga membuat mental Asahi, anak semata wayangnya itu, terbentuk dengan emosi negatif.

Tiga kejadian yang membekas dalam dirinya dan perlahan membentuk kepribadian Asahi menjadi anak yang pendiam dan tak peduli lingkungan sekitar. Semakin berkembangnya waktu dan usia, Asahi tumbuh dengan tidak benar. Dirinya semakin menjadi pribadi yang egois, dan berani menentang orangtuanya.

Kabur-kaburan adalah salah satu buktinya.

"Gue bilang juga apa, Sa."

Ah, suara itu. Bariton berat yang sudah dikenal baik oleh inderanya. Suara dengan pemilik super menyebalkan untuknya akhir-akhir ini. Dirinya memang telah mengirim pesan pada Jaehyuk untuk menjemputnya setelah mata kuliah terakhir hari ini. Namun bila bisa memutar waktu, ia tak akan mau dijemput olehnya bila semua yang terjadi padanya selalu dikomentari. Seperti saat ini.

"Untung lo langsung ke basement. Kalo lo ngilang gue lagi yang repot. Ini aja gue udah repot, pasti lo nanti bakal pilek panas. Dan lo tau nggak, kalo lo lagi sekarat mintanya aneh-aneh? Makan kalo nggak bubur dikasih kuah seblak nggak bakal mau, strawberry cheesecake ice cream dicampur kinderjoy. Itu sih masih mending daripada banana juice mixed with cerelac rasa banana juga yang sumpah demi sinchan gue paling benci bikininnya. Lo tuh aneh banget tau gak??"

Jaehyuk ini tau nggak sih kalau dirinya berisik sekali?!

Demi semesta, Asahi tak butuh kata-kata tak bermutunya itu!

"Minggir." Ucap taruna Leo menarik paksa Jaehyuk untuk keluar dari kursi mengemudi. Yang ditarik menghela napas pasrah. Masih tak percaya kalimat panjangnya dengan gampangnya diacuhkan begitu saja.

"Gue yang nyetir hari ini."

"Y."

Balasnya singkat bukti bila dirinya juga kesal karena akhir-akhir ini nampaknya sedang dicuekin saja. Dari belakang, tangannya bergerak seakan bisa mencengkeram manusia didepannya ini. Ingin Jaehyuk cabik-cabik!

Tiga menit berlalu, pas setelah Jaehyuk duduk nyaman dan selesai memasang seatbealt pada dirinya, alisnya menukik keheranan lantaran sang majikan belum melihatkan adanya tanda-tanda untuk melajukan kendaraannya. Pandangan Jaehyuk tak lepas dari Asahi yang masih setia menatap kemudi. Tak lama kemudian kebingungannya terjawab.




"Tiba-tiba gue males nyetir."



Dewi hujan, biarkan Jaehyuk menggantung majikannya dipohon kangkung sekarang juga!





AphroditeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt