03

39 7 0
                                    

"Kiw, maniezt. Boleh minta nomer WA-nya gak?"

Celotehan godaan yang sangat mengganggu itu berhasil pemuda Hamada acuhkan beberapa saat. Namun tak berselang lama, beberapa mahasiswa sok keren itu mendekat, menarik kursi, dan turut duduk mengitari dirinya.

Pemuda itu, Hamada Asahi, ia tak memedulikan keberadaanya. Telinganya ia sumpal dengan airpod sedangkan tangannya sibuk menyalin catatan dari ponsel miliknya. Mengingat dirinya adalah mahasiswa transfer yang harus mengejar materi sebanyak mungkin.

Didepannya ada seorang pemuda dengan tampilan brandalan. Ia mengenakan kaos hitam yang dibalut dengan kemeja biru gelap. Alisnya tajam, bahkan sisi lainnya terbelah dua untuk menambah kesan garang. Disisi kiri Asahi, laki-laki dengan kacamata yang ia yakin kacamata itu hanya aksesoris belaka. Pandangannya memang tegas, namun masih sedikit manusiawi. Dan kanannya, pemuda dengan rambut yang dicat agak merah dengan gaya rambut mullet seperti trend akhir-akhir ini. Menurut analisis Asahi saat ini, setidaknya ia tak perlu takut dengan tatapan intimidasi mereka.

Mereka cuma menggertaknya saja.

Laki-laki berkepala merah itu menyodorkan ponselnya pintar kesamping. Membuat Asahi mencoret catatannya sendiri. Dengan gestur menggerakan kepala, taruna merah itu memaksa Asahi untuk menuliskan nomor pribadinya.

"Cepet." Perintahnya.

Alih-alih memberikan apa yang mereka minta, dirinya bergegas menata buku dan mematikan handphonenya. Tubuhnya bergerak menjauh tak merespon pemuda-pemuda berbadan cukup atletis itu untuk keluar dari area kantin fakultasnya.

Hanya selang tiga detik berlalu sebelum tangan kekar dibelakangnya menarik paksa kerah sweater merah marun milik Asahi. Yang mau tak mau hal itu membuat dirinya membalikkan tubuh sambil melontarkan tatapan horror untuk ketiganya.

Yang ditatap memberi kesan takut, meski ia paham hanya sekedar pura-pura saja.

"Aw, takutnya ada kucing galak."

"Jangan ganggu gue." Tegas Asahi dengan tatapan tajam. Alih-alih takut, pemuda berkepala merah itu merebut paksa buku dalam genggamannya. Membuatnya mendesis sebal lantaran tak mampu menggapai tingginya sang lawan.

"Lucu banget gak sih? Pengen gue terkam." Sorak tawa ketiganya terdengar mendominasi diarea kantin, membuat banyak pasang mata dengan gratis menyaksikan tontonan yang menarik.

Asahi tak suka ini. Ia tak suka mejadi sorotan mata.

Perutnya mendadak mual.

"Hamada Asahi. Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain. NIM A32020—eitss. Bocil nggak boleh nakal ya." Sargahnya menghalangi Asahi untuk mengambil balik kepunyaanya. Ini membuatnya frustasi. Kalau saja ini bukan tempat publik, Asahi akan mengamuk sesukanya.

Pemuda Agustus yang sudah habis kesabaran itu tak memedulikan lagi buku catatannya. Toh ia masih bisa menulisnya ulang daripada harus repot-repot meladeni berandalan macam mereka. Membuang-buang waktu dan tenaga, pikirnya.

"Jadi," lelaki dengan sebelah alis yang terbelah itu bersuara. "Kosong delapan berapa, dek Asahi?"

Asahi merotasikan bola matanya jengah. Lalu memutuskan untuk segera berlalu dari hadapan trio macan ini. Ada drama menarik tangan dulu, namun berhasil Asahi atasi dengan bogeman keras menggunakan tas miliknya. Meninggalkan mereka bertiga dengan smirk yang tercetak jelas di sudut bibir si pemuda berkepala merah.

Setelah kakinya terpantau berjalan cukup jauh dari area kantin, Asahi memutuskan untuk berbelok menuju toilet. Semua yang dicerna hari ini sudah mendesak untuk dikeluarkan. Kepalanya pusing, badannya tiba-tiba lemas.

Tangannya ia sangga pada dinding westafle, menatap dirinya dari pantulan cermin. Dari lubuk hatinya yang terdalam, ada sepercik kebencian yang meletik. Gelenyar aneh terus-terusan berdatangan hingga membuat perutnya kembali mual.

Asahi tak suka perasaan ini.

Ah, haruskah dirinya mengucapkan selamat pada takdir barunya saat ini?

Karena taruna ini yakin jika kumpulan berandalan yang mengganggunya tadi berkemungkinan untuk kembali mengusik ketenangan hidupnya.

Dan benar saja, dugaannya seratus persen valid. Bahkan setelah berhari-hari kejadian kantin terlewat, banyak pasang telinga sudah melupakan kejadian itu, bahkan Asahi sendiri sudah tak mendatangi kantin fakultasnya lagi, berandalan kepala merah itu masih saja mengusik dirinya. Entah didepan kelas—menunggu kelasnya usai, berpapasan dijalan, atau disekitar koridor fakultas. Dengan gestur melambaikan tangan pada sang taruna kecil bak sudah berteman akrab cukup lama, membuatnya tak kuasa untuk tak melayangkan tatapan kebencian.

Cih, memang anak dakjal!


Brak!

Tangan Asahi memukul keras-keras pensil mekanik dalam genggamannya ke meja tempatnya menimba ilmu saat ini. Untung saja dosen belum sempat masuk kelas, hingga hanya ada beberapa mahasiswa saja yang mungkin mempertanyakan atas tindakan impulsifnya itu tiba-tiba.

Memikirkan berandalan itu membuat moodnya turun drastis. Harinya mulai tak nyaman dengan adanya mereka dalam radarnya akhir-akhir ini. Asahi berjengit, merapikan barang-barangnya. Ia memutuskan untuk meningalkan mata kuliah terakhirnya hari ini. Ia tak lagi peduli bila dosennya nanti akan melipatgandakan projeknya.

Asahi cuma butuh udara segar. Setidaknya hari ini saja, sebelum beradalan jamet itu mendatanginya.

Kakinya melangkah lebar-lebar, membuat keberadaannya sebisa mungkin untuk tak terlihat. Kali ini ia memakai topi berwana silver untuk menutupi sebagian wajahnya, jaket hitam kulit, dan juga eye path dengan tali putih yang menutupi mata kirinya. Karena sungguh sebenarnya Asahi tak mau memakainya hari ini, tapi matanya itu kembali merasakan kedutan perih, mau tak mau ia harus memakai untuk menutupi kemerahannya.

Sepeninggalnya fakultas, ia berusaha menelpon Jaehyuk untuk segera menjemputnya. Namun nampaknya laki-laki itu sibuk dengan pekerjaanya –dan juga Asahi telah berpesan untuk menjemputnya sesuai jadwal.

Namun pemuda kecil itu lagi-lagi kesal dengan nasibnya. Setidaknya, biarlah Jaehyuk membalas pesannya yang bertanya mengenai bis dengan koridor berapa yang harus ia tumpangi untuk mencapai apartement mereka. Agar dirinya tak bingung untuk mencari jalan pulang, dan tersesat ditengah padatnya kota.

Ia benar-benar tidak beruntung hari ini.

Beberapa saat lalu dirinya memang berencana untuk melarikan diri dari gerombolan jamet yang akhir-akhir ini mengganggunya.

Tapi sepertinya dewi fortuna tidak memihaknya.

Karena dari radius tigaratus meter dihadapannya, netranya menangkap sosok pemuda berkepala merah dan sekelompok gengsternya terlihat sedang menepikan diri ditengah gang sepi sembari merokok dan bercengkrama bersama. Kali ini bukan hanya tiga, namun ada lima—enam—delapan pemuda dengan wajah tak beda jauh dengan sikepala tomat!

Oh man, yang benar saja?!

Ayolah, Asahi sedang dalam mood yang buruk hari ini.

Awalnya Asahi kira dirinya bisa meloloskan diri dengan bergerak secara diam-diam, namun siapa sangka laki-laki beralis pecah belah sialan itu itu menyadari dan mengenali keberadaanya. Awas saja, lain kali, kalau bertemu lagi, Asahi memastikan dirinya untuk mencukur habis alis jeleknya itu!


"Eh, ada dek Asahi!"



"Shit."


Ya, lain kali. Kalau nasibnya hari ini tak seburuk itu. 






AphroditeWhere stories live. Discover now